Selasa, 30 Juni 2009

Menyelesaikan Konflik dan Kekerasan Rumah Tangga

Media dipenuhi kasus KDRT

Awal bulan Juni media elektronik dan media cetak kembali heboh memuat berita Manohara. Pemberitaan Manohara kembali mencuat dan menghangat pasca kepulangannya dari Negeri Kelantan Malaysia, Istana suaminya. Mantan model ini dilaporkan mendapat perlakuan yang tidak layak dari suaminya, Pangeran Tengku Temenggong Muhammad Fakhry. Kasus ini segera menjadi bagian yang perlu diproses secara hukum karena termasuk jenis kekerasan yang layak disebut Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Belum lagi kasus Manohara mendingin, media kembali memberitakan kasus KDRT serupa yang dialami oleh Cici Paramida. Penyanyi dangdut ini diserempet mobil oleh suaminya, Ahmad Suhaeby di daerah puncak, Bogor tanggal 14 Juni lalu. Kasusnya nampak jauh lebih heboh dengan adanya bekas luka nampak di bagian muka cici. Proses pengadilannya pun juga nampak serius, apalagi ketika Adhiyaksa Dault (Menpora) yang juga keuarga besar Cici turut memberikan pandangan mengenai kejadian tersebut.

Apakah KDRT itu?
Istilah KDRT mulai mencuat ke publik pasca pengesahan UU KDRT No. 23 tahun 2004 silam. Dalam UU tersebut KDRT didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang (terutama perempuan), yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga: termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dari definisi asli ini, maka suatu kasus baru akan bisa disebut sebagai bagian dari KDRT apabila telah muncul akibat yang disebutkan di atas. Sehingga tidak semua perseteruan dan percekcokan yang timbul dalam lingkup rumah tangga dapat dikategorikan dalam aksi KDRT. Namun kenyataannya, media begitu banyak menyajikan permasalahan keluarga (khususnya kalangan selebritis) dan kemudian mengklaimnya dengan KDRT. Mengapa hal ini terjadi? 
Pemahaman mengenai KDRT memang belum dipahami oleh masyarakat secara utuh. Banyak di antara mereka yang justru memahami KDRT hanya dari sudut pandang jender semata. Fenomena ini sangat wajar, karena aktivis jender yang diwakili oleh PSW UnDip menyebutkan bahwa suatu kejadian dapat digolongkan KDRT jika ada pihak yang merasa dirugikan. Akibat dari pernyataan ini kesalahan sedikit saja yang muncul dari kelemahan seseorang dalam rumah tangga akan begitu mudah masuk bagian dari KDRT. Misalnya saja, apabila suami istri melakukan hubungan dan si istri merasakan ketidaknyamanan, maka ia termasuk pihak yang dirugikan dan boleh melaporkannya ke polisi. Contoh lain, jika ada perkelahian antara orang laki-laki dalam rumah, kemudian berdampak pada perempuan, maka dapat pula hal ini dikategorikan dalam KDRT. Dengan adanya definisi yang dikaburkan oleh kaum jender ini, maka akan sangat wajar jika orang awam atau bahkan pihak kepolisian juga sulit menggambarkan suatu kejadian rumah masuk kategori KDRT atau tidak. Ketidakjelasan definisi ini berdampak pula pada mekanisme penyelesaian kasus KDRT (yang sudah dilaporkan) menjadi tidak jelas dan tidak tuntas.  
Kaum feminis membahasakan kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis jender. Mereka menganggap kekerasan berbasis jender merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam masyarakat bersistem patriarki (laki-laki yang mendimonasi dan memnguasai). Dengan kata lain, kaum feminis menganggap lumrah kekerasan terhadap perempuan itu terjadi bila pola masyarakatnya bersifat islami, karena Islam memandang laki-laki sebagai peminpin bagi perempuan. Mereka beranggapan bahwa posisi kaum perempuan dengan pola masyarakat seperti ini akan cenderung terpinggirkan, karena perempuan hanya diberi peran sebagai istri dan ibu saja. Feminis menganggap bahwa peranan perempuan sebagai istri dan ibu saja akan menyebabkan kaum perempuan selalu menjadi nomor dua setelah laki-laki, sehingga wajar jika dengan posisi demikian perempuan selalu menjadi objek sasaran kekerasan, termasuk dalam lingkup rumah tangga.
Adanya motif kesetaraan jender ini menyebabkan pemberitaan media yang menyangkut masalah keperempuanan, khususnya yang mengalami perlakuan tidak baik menjaditer amat sangat berlebihan sekali. Mereka tidak sekedar menunjukkan aksi simpati pada korban yang diliput, tetapi mereka juga memanfaatkan media untuk menyebarluaskan pemahaman-pemahaman mereka mengenai kesetaraan jender di tengah masyarakat. Tujuan mereka tidak lain agar masyarakat ikut terseret dalam hebohnya pemberitaan, ikut merasa simpati, kemudian menerima mentah-mentah komentar yang mereka sampaikan tanpa sempat berpikir apakah yang mereka sampaikan itu diperbolehkan atau tidak dalam Islam. Dari sini jelas sekali bahwa yang sebenarnya terjadi adalah adanya upaya mengait-ngaitkan masalah pribadi rumah tangga dengan jender dan mengaitkan antara kekerasan dengan jender pula.
Bagaimana Islam Memandang?
Sebagaimana Manohara dan Cici, setiap perempuan yang sudah berumah tangga juga akan mengalami pahit manisnya hidup bersama suami. Namun apakah kemudian kita akan bersikap seperti Manohara yang minta tolong ibunya melaporkan suaminya yang tinggal di Malaysia ke kepolisian Indonesia ataukah seperti Cici yang mengatakan kepada pers bahwa masalah yang dia alami adalah musibah dan seharusnya tidak perlu dipaparkan ke media?
Ibu, sebagai wanita yang dididik dengan nilai keislaman sejak kecil, tentunya akan jauh lebih afdhal jika kita kembali melihat tuntunan dalam menyelesaikan konflik rumah tangga (yang mengandung unsur kekerasan ataupun tidak). Islam memandang kehidupan suami istri sebagai kehidupan persahabatan. Suami istri harus saling bersikap baik satu dengan lainnya dan juga saling menjaga kehormatan masing-masing. Allah berfirman: ...mereka (istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu (suami) pun adalah pakaian bagi mereka.... (TQS Albaqarah: 187). Dengan demikian, apabila timbul permasalahan dalam rumah tangga, kemudian suami hendak mengingatkan istri, maka tidak dibenarkan langsung main pukul dan main kekerasan. Syariat Islam memiliki panduan tepat dalam hal ini. Surat anNisaa’ ayat 34 menerangkan bahwa ada tahapan yang harus ditempuh seorang suami dalam menyikapi kekhilafan istri yang berlebihan. Suami boleh menasehati istrinya, kalau istri masih tidak taat suami akan memisahkan istri di tempat tidur, dan jika masih membangkang suami dibolehkan memukul istrinya. Ibnu Katsir menjelaskan pukulan di sini adalah pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak berbekas yang tidak lain tujuannya sema-mata demi kebaikan. Jadi bukan memukul tanpa
sebab yang dibenarkan Islam, atau memukul dengan cara yang menyakitkan atau berbekas. Islam memberikan amanah tanggung jawab kepemimpinan keluarga kepada kepada suami. Islam memerintahkan suami memimpin istrinya dalam suasana persahabatan dan memperlakukan istrinya dengan ma’ruf sebagaimana yang tercantum dalam surat anNisaa’ ayat 19. terkait hal ini, Rasulullah bersabda: ”Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik budi pekertinya. Dan orang yang paling baik budi pekertinya di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya”. Dengan memahami ayat dan hadits di atas seorang suami akan memiliki landasan iman yang kuat dalam mejalankan amanahnya sebagai seorang pemimpin, sehingga tidak mudah melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan karena ia selalu merasa diawasi Allah. (@R, dari berbagai sumber)

PENDIDIKAN SEKS DINI (Upaya Mencegah Perilaku Seksual Menyimpang pada Anak)

 

Bulan Pebruari kemarin kembali terungkap kasus aborsi di sebuah klinik di Jakarta Pusat yang sudah berpraktek selama 10 tahun. Kasus ini berhasil terungkap setelah dilakukan penggerebekan oleh polisi pada tanggal 26 Pebruari. Dari hasil penggerebekan di klinik tanpa nama ini ditemukan sembilan orang yang terlibat dalam peristiwa. Mereka adalah pemilik klinik bernama Atun, seorang dokter, dua orang karyawan, seorang calo, serta tiga pasien yang sedang mondok. Penggerebekan juga menemukan banyak sekali potongan bagian tubuh manusia korban praktik aborsi di klinik tingkat dua tersebut.
Kasus ini hanyalah fenomena puncak gunung es. Meskipun sudah berhasil diketahui satu kasus, namun masih banyak kasus aborsi yang terjadi di tengah masyarakat belum terungkap. Bukti yang mendukung adalah hasil penelitian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada 2000-2003 terhadap 37.685 responden di sembilan kota besar, lebih dari 70 % (sekitar 26.379 orang) pelaku aborsi berstatus istri. Sedangkan 28 % (11.306 orang) pelaku aborsi berstatus lajang, dan 1.357 di antaranya adalah remaja di bawah usia 20 tahun. “Data ini menunjukkan bahwa perilaku seksual kelompok muda dan remaja kita sangat mengerikan” kata Iip Wijayanto, pemerhati dan penulis buku bertema pornoaksi di kalangan mahasiswa Yogyakarta. 
Ibu, kasus di atas adalah salah satu contoh yang menunjukkan bahwa dewasa ini perkembangan naluri seksual anak muda dan remaja begitu cepat, bahkan lebih cepat dibanding pertumbuhan usia mereka. Adanya kematangan seksual yang tidak diimbangi dengan kedewasaan ini mengakibatkan mereka mudah terseret pada keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru. Keinginan mencoba tersebut biasanya tidak diiringi dengan pemikiran yang panjang mengenai resiko yang akan mereka tanggung di kemudian hari. 
Disadari atau tidak, saat ini memang banyak sekali faktor yang mendukung cepatnya perkembangan naluri seksual. Di antara faktor tersebut adalah kondisi lingkungan yang sangat terbuka terhadap perilaku pornoaksi dan pornografi serta tersedianya sarana dan prasarana yang mudah didapat oleh kelompok muda dan remaja ini. Contoh yang sudah bisa kita rasakan bersama adalah tersebarnya majalah porno di kios-kios buku. Majalah-majalah tersebut dijual dengan harga relatif murah yang bisa dijangkau uang saku anak sekolah jaman sekarang. Akibatnya, dengan bacaan keseharian yang sarat dengan unsur pornografi dan pornoaksi anak muda dan remaja kita lama kelamaan akan menganggap biasa peristiwa dan kejadian berbau pornografi dan pornoaksi dan membiarkannya menjadi bagian dalam kehidupan mereka.
Hasil penelitian dari Top Ten Reviews yang dikeluarkan awal 2008, menyebutkan bahwa Indonesia termasuk 10 besar dunia pengakses berita porno di internet. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “Jangan Bugil di Depan Kamera” menyebutkan, sepanjang 2008 di internet beredar sekitar 600 film porno buatan remaja lokal (Indonesia). Sedangkan data yang disembunyikan di handphone masih belum terungkap, akan tetapi kemungkinan jumlahnya juga tidak kalah banyak dengan yang ada di internet, mengingat mayoritas remaja saat ini sudah memiliki handphone pribadi.
Salah satu upaya untuk menghindari dampak negatif dari ketidakseimbangan antara kedewasaan dan perkembangan seksual pada remaja yang begitu cepat adalah menyelenggarakan pendidikan seks. Selama ini kegiatan pendidikan seks hanya dilakukan di sekolah. Pendidikan seks oleh sekolah diharapkan mampu untuk memberikan pengetahuan kepada kelompok muda dan remaja terhadap masalah seksual. Dengan demikian mereka mempunyai bekal perihal seksual dan mampu bersikap bertanggung jawab terhadap masalah seksual yang mereka hadapi. Tetapi kenyataan di lapang, jauh panggang dari api. Pendidikan seks hanya sebagai ajang untuk menuntaskan rasa penasaran, berikutnya mereka mempraktekkan pembelajaran tersebut. Apalagi banyak sekali kebijakan yang dibuat dengan mengatasnamakan pendidikan seks yang justru semakin menjerumuskan remaja pada tindakan amoral. Misalnya pembagian alat kontrasepsi kepada para pelajar, pembagian buku panduan pendidikan seks yang penuh dengan gambar-gambar seronok, dll, yang tidak diimbangi dengan penjelasan sanksi yang tegas. Adapun sanksi yang dicantumkan hanya sanksi dari segi hukum, di mana sanksi ini jarang terlaksana. Pelaku pada umumnya mulai mencoba tindakan amoral secara sembunyi-sembunyi sehingga hampir tidak pernah terdengar aparat hukum. Dengan demikian pelaku akan merasa aman selama tidak ketahuan dan akan mengulanginya jika ada kesempatan. Mereka bahkan tidak ingat atau tepatnya melupakan masalah dosa dan neraka untuk sementara waktu. 

Pendidikan Seks Sejak Dini
 Setiap manusia diciptakan dalam kondisi yang sempurna. Penyempurnaan tersebut di antaranya dengan memberikan potensi hidup yang senantiasa mendorong dirinya melakukan kegiatan dan menuntut adanya pemuasan. Manusia memiliki naluri (gharizah) yang juga menuntut adanya pemenuhan. Salah satu bentuk naluri ini adalah naluri untuk melestarikan jenis/keturunan (gharizah nau’) yang salah satu perwujudannya bisa berupa dorongan seksual.Namun, apabila naluri ini tidak dipenuhi, manusia masih tetap bisa hidup wajar. Dengan demikian tuntutan untuk memenuhi dorongan seksual tidak selalu harus dipenuhi saat muncul rangsangan.
 Keberadaan naluri melestarikan jenis dalam setiap orang dapat mengalami perubahan, terkadang sangat terasa ingin dipenuhi dan terkadang biasa saja. Untuk kelompok muda dan remaja, dalam kondisi biasa saja mungkin tidak ada masalah yang ditimbulkan. Sebaliknya, ketika naluri ini sedang memuncak, hal yang membahayakan bisa saja mengintai apabila tidak ada pemahaman dalam diri mereka sendiri mengenai seks dan tidak ada pengontrolan yang baik dari orang di sekitarnya. Dengan demikian penyiapan pemahaman menjadi sangat penting untuk dilakukan. Upaya yang bisa dilakukan dalam proses pemahaman ini adalah melalui pendidikan seks, namun bukan hanya di sekolah. 
 Pendidikan seks hendaknya dilakukan sejak anak masih kecil. Dan tentunya Ibu, sebagai orang tua, kitalah yang paling dekat dan paling tahu dengan kondisi anak. Kita yang paling paham perubahan dalam setiap perkembangan fisiknya. Kita pula yang mengetahui dengan mudah setiap perubahan kejiwaan anak dalam setiap tahapan usianya. Oleh karena itu tidak salah jika sebenarnya kita (para ibu) yang sebenarnya menjadi guru pertama dan utama bagi anak-anak, terutama dalam masalah seks. Sejak kecil anak sudah terbiasa mengetahui organ kelaminnya masing-masing. Dari sini kita bisa mulai menerangkan sedikit demi sedikit batasan aurat antara anak laki-laki dan perempuan, sehingga ketika mereka memakai baju dengan sendirinya paham bagian-bagian mana yang boleh diperlihatkan dan bagian mana saja yang tidak boleh. Ketika anak sudah mulai baligh, maka penjelasan kita tambahkan dengan halal dan haram, sehingga anak mulai tahu pada siapa dan di mana mereka harus menutup aurat dengan sempurna. Anak juga sudah mulai diperkenalkan dengan istilah lawan jenis, kemudian disampaikan bahwa mereka boleh bebas berhubungan dengan lawan jenis ketika sudah menikah.
 Ibu, apabila anak-anak sudah memahami dan mengerti betul batasan halal dan haram dalam menjaga hubungan mereka. Maka yang menjadi tugas kita selanjutnya adalah mengawasi lingkungan pergaulan mereka. Pengawasan ini penting dilakukan agar mereka tidak terjebak dalam perilaku seks bebas yang haram dan membahayakan. Pengawasan juga penting dilakukan agar tidak terjadi perilaku seks menyimpang (seks sejenis seperti homo atau lesbi) pada anak. Sebisa mungkin harus dihindarkan keadaan-keadaan yang bisa mendorong mereka berbuat menyimpang. Karena bagaimanapun, munculnya dorongan seksual sering dipicu dari luar, dari apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, dan apa yang mereka rasakan. Di samping itu juga perlu diadakan pencegahan sedini mungkin dan Islam telah memberikan beberapa langkah pencegahan.

Langkah Pencegahan Penyimpangan Seks
1. Menjauhkan anak dari berbagai rangsangan
Rangsangan pada diri manusia baru akan muncul ketika ada pemicu dari luar. Misalnya, dorongan seksual akan muncul setelah melihat VCD porno, setelah membaca majalah yang menampilkan wanita cantik dengan pakaian sangat minim, setelah menonton penyanyi yang bergoyang erotis, dll. Demikian juga hasrat untuk melakukan penyimpangan seksual, yang umumnya muncul akibat contoh di TV. Anak kemudian akan terdorong untuk mencoba-coba dan lama kelamaan sulit dikendalikan karena sudah menjadi kebiasaan dan dianggap wajar.
Sebagai agama sempurna, Islam memiliki aturan bersumber dari alQur’an dan alHadits yang menerangkan bagaimana seharusnya naluri itu dipenuhi. Apabila seorang telah baligh, baik masih remaja atau masih kuliah, maka Islam menganjurkan menikah\, walaupun usianya belum mencapai 17 tahun. Hal ini dimaksudkan agar perilaku seks bebas dan seks yang menyimpang dapat dihindari. Apabila mereka memiliki kecenderungan seks yang kuat, namun belum mampu menikah, maka Islam menyarankannya untuk berpuasa. Sehingga dengan puasa, seorang anak muda atau remaja dapat meningkatkan keimanannya kepada Allah, sekaligus membentengi dirinya dari perbuatan amoral. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW yang dituturkan Ibn Mas’ud r.a “Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu memikul beban, hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya, siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, karena hal itu dapat menjadi perisai”
Sedangkan mengenai rangsangan yang berasal media, Islam telah memiliki aturan yang tegas bahwa segala sesuatu yang berbau maksiyat hukumnya haram untuk disebarkan di tengah masyarakat. Dengan demikian pelaku, pembuat, dan penyebar aneka macam VCD, majalah, dan tontonan porno akan disadarkan dengan pembinaan Islam. Sedangkan industri maksiyatnya akan dihentikan dan mereka diarahkan bekerja atau membuka usaha yang sifatnya halal dan tidak mengancam merusak masyarakat.

2. Menguatkan identitas diri sebagai anak laki-laki atau perempuan
Allah telah menentukan bahwa segala sesuatu diciptakan secara berpasang-pasangan. Allah telah menciptakan malam, lalu diiringi dengan siang. Allah juga menciptakan laki-laki sebagai pasangan bagi perempuan: 
“Segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kalian mengingat akan kebesaran Allah. Allah menciptakan kalian dari tanah, lalu dari air mani, kemudian Dia menjadikan kalian berpasangan (laki-laki dan perempuan) (TQS Fathir [35]: 11)”
Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan yang mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah. Adanya perbedaan bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi yang kelak akan diperankannya. Perempuan akan menjadi ibu yang melahirkan anak-anaknya dan laki-laki akan mejadi ayah yang akan menafkahi keluarganya. Pola asuh dan perlakuan yang diberikan orang tua memiliki peran yang besar dalam memperkuat identitas anak sebagai laki-laki atau perempuan. Anak perempuan dibiasakan dengan mainan, pakaian, dan aktivitas perempuan dan anak laki-laki juga dibiasakan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan laki-laki. Islam tidak membenarkan adanya kebiasaan saling menyerupai, laki-laki menyerupai perempuan dan sebaliknya. Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah saw melaknat laki-laki yang mnyerupai wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki (HR Bukhari)”.

3. Membatasi pergaulan sejenis
Di samping telah memberikan aturan bagaimana bergaul dengan lawan jenis, islam juga memberikan aturan hubungan sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan). Terkait masalah ini, Rasulullah bersabda: 
“janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki. Jangan pula perempuan melihat aurat perempuan…. (HR Muslim)”. 
Laki-laki yang melihat aurat laki-laki ataupun perempuan yang melihat aurat perempuan juga akan terangsang. Apabila didukung dengan kondisi dan kesempatan akan menjadi pemicu munculnya penyimpangan seksual.

4. Menghilangkan pengaruh negatif dari lingkungan 
 Hidup memang tidak bisa lepas dari lingkungan sekitar, sehingga penting sekali memberikan pemahaman kepada anak untuk bisa memilih mana yang baik, mana yang halal, dan mana yang haram. Mengingat kondisi masyarakat yang cenderung bebas menerima apa saja asalkan bisa menyenangkan, maka sebagai seorang ibu yang peduli akan masa depan anak, orang tua harus lebih teliti dan tegas dalam memberikan izin kepada anak tentang apa-apa yang boleh mereka perbuat dan mereka lihat. Saat ini banyak beredar VCD porno dan juga VCD yang mencontohkan perilaku homoseksual atau lesbian. Bahkan tayangan tersebut juga sering ada di televisi. Beritanya pun juga kerap menghiasi surat kabar. Begitu juga tontonan laki-laki menyerupai perempuan dianggap umum dalam dunia hiburan. Tentunya hal ini mengkhawatirkan, karena berpeluang ditiru anak-anak. Namun dalam hal ini tentunya tidak hanya menjadi tugas orang tua saja, sangat diperlukan kebijakan yang tegas dari pemerintah. Jika pemerintah mengeluarkan aturan yang tegas, masyarakat akan mengikuti peraturan tegas dari pemerintah.Sehingga masyarakat terjaga dan anak-anak tidak terdorong untuk mencoba-coba.
Ibu, pertumbuhan dan perkembangan masa kanak-kanak baik itu perkembangan tubuh, kejiwaan, dan interaksinya dengan lingkungan sekitar merupakan masa yang sangat penting bagi masa depannya. Pada masa ini, hendaklah para orang tua memberikan bimbingan dan pengarahan kepada anak, khususnya masalah seksual. Tentunya bimbingan tersebut didasarkan pada aturan yang telah digariskan syari’at Islam. (@R, dari berbagai sumber)

Iman Kepada Taqdir

 
Iman kepada taqdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim. Sebab, hal ini memiliki sandaran nash-nash Al Qur'an yang pasti (qoth’i) serta dijelaskan oleh Rosulullah SAW dalam sunahnya. Berbeda dengan iman kepada ‘Qadha dan Qadar’, ia bukan lahir dari nash-nash syara’ secara langsung. Istilah Qadha dan Qadar, --sebagai istilah tertentu yang bermakna tertentu pula--, tidak didapatkan dalam Al Qur'an maupun As Sunnah. Jika kita kaji dari buku-buku hadits, kita tidak akan menemukan masalah ini (qodha dan qadar). Kita hanya menemukan pembahasan taqdir (atau al qadar yang bermakna taqdir). Misalnya dalam Shahih Bukhari hadits no. 6594-6620 dan Shahih Muslim no. 2634-2664; yang merupakan bab khusus tentang masalah taqdir. Di dalam Al Qur'an sendiri tidak ada istilah ‘qadha dan qadar’ yang digabungkan. Keduanya hanya ditemukan secara terpisah (lihat indeks Al Qur'an, Muh. Fuad Abdul Baqi, hal. 536-537 tentang al qadar, dan hal 546-547 tentang qadha).
Tidak adanya istilah qadha dan qadar (yang digabungkan, dan memiliki makna tertentu) tersebut, karena memang masalah ini baru muncul pada masa tabi’in (setelah masa shahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah (awal abad kedua Hijriyah). 

Taqdir dan Pengertian Iman Terhadapnya
Seorang muslim beriman dan yakin bahwa semua keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (karena memang Allah Maha Mengetahui sesuatu (Al-‘Aliim)), baik kejadian yang telah terjadi, sedang maupun yang akan terjadi. Kejadian apapun bentuknya telah diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di Lauhul Mahfuz (kitab induk dan gambaran umum luasnya ilmu Allah SWT).
Inilah pengertian sederhana dari taqdir yang telah dijelaskan oleh Al Qur'an dan hadits Rosulullah SAW. Dengan kata lain taqdir adalah catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh tentang segala sesuatu. Yang dimaksud dengan ‘segala sesuatu’ yakni termasuk benda-benda, manusia, amal perbuatannya, makhluk hidup lain, dan lain-lain; semuanya telah tercatat/diketahui oleh Allah SWT dan dituliskannya di Lauhul Mahfuzh.
Setiap muslim wajib beriman kepada taqdir karena merupakan bagian dari rukun iman. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab, ketika itu Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan bertanya:
“Coba ceritakan apa iman itu? Lalu Rosulullah menjawab : Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-nya, hari kiamat dan percaya kepada taqdir baik dan buruknya berasal dari Allah SWT.” (HR Muslim) 
Seorang yang tidak percaya kepada taqdir, maka imannya cacat bahkan dapat mengeluarkan dirinya dari Islam, karena masalah ini telah tegas dijelaskan oleh nash-nash Al Qur'an dan hadits Rosulullah SAW, seperti ayat:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut taqdirnya/ukurannya.” (QS Al Qamar: 49) 
Dalam menafsirkan ayat ini Imam Asy-Syuyuti menyatakan:
“Kepercayaan yang dipegang oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah bahwa Allah SWT telah mentaqdirkan segala sesuatu. Artinya Dia telah mengetahui ukuran, kondisi, peraturan, dan waktunya, jauh sebelum sesuatu itu terjadi. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu kejadian di langit dan bumi kecuali seluruhnya muncul dari ilmu, qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah SWT.” (lihat Tafsir Imam Qurthubi juz XVII hal. 148) 
Makna dari semua ini adalah Allah SWT telah mengetahui segala sesuatu tentang manusia sebelum ia diciptakan. Dia juga mengetahui ketetapan nasib seseorang di dunia ini maupun di akhirat kelak (bahagia atau celaka, sukses atau gagal, kaya atau miskin, umurnya, dsb).
Pahamilah, pembahasan masalah taqdir sebenarnya hanyalah pembahasan tentang kekuasaan Allah SWT. Taqdir merupakan Ilmu Allah dan kekhususan bagi-Nya (ilmu Allah mencakup segala sesuatu karena ia memang bersifat Al-‘Aliim) dan mustahil ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya.
Hadits berikut ini menunjukan wajibnya iman kepada taqdir dan larangan mengingkarinya:
“Bagi setiap umat akan muncul segolongan manusia yang berperilaku seperti majusi. Orang-orang majusi mengatakan bahwa tidak ada taqdir. Jika diantara mereka ada yang meninggal, maka janganlah kalian menghadiri jenazahnya. Jika mereka sakit, janganlah dijenguk, (sebab) mereka adalah (sama dengan) golongan dajjal. Memang pantas ketentuan tersebut, yaitu menghubungkan perilaku mereka yang mirip dengan dajjal, adalah ketentuan yang haq (benar) dari Allah SWT.” (HR. Abu Dawud dari Hudzaifah, lihat Sunan Abu Dawud, juz IV hal. 222) 
Meskipun kita beriman kepada taqdir (ilmu) Allah SWT, tetapi janganlah mencampur-adukan antara “iman kepada taqdir” tersebut dengan “amal perbuatan manusia”, karena keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Artinya, ilmu Allah (taqdir) tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu dan juga tidak pernah memaksa seseorang untuk tidak berbuat sesuatu.
Rosulullah SAW telah melarang para shahabatnya mencampur-adukan pemahaman taqdir dengan amal perbuatan manusia yang dapat menyebabkan manusia tidak mau berusaha. Harus dipahami bahwa ada perbedaan antar : Apa-apa yang harus diyakini dengan apa-apa yang harus dikerjakan !
Telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ali bin Abi Thalib ra. yang artinya:
“Rosulullah SAW suatu hari duduk-duduk (bersama para shahabat). Di tangan beliau ada sepotong kayu, lalu dengan kayu tersebut beliau menggores-gores (tanah). Lalu nabi mengangkat kepala dan berkata : “Setiap kalian yang bernyawa sudah ditetapkan tempatnya di jannah (surga) dan jahannam”. Para shahabat terkejut lalu bertanya : “Kalau demikian ya Rosulullah apa gunanya kita beramal? Apakah tidak lebih baik kita bertawakal saja (kepada taqdir)? Beliau menjawab : “Jangan! Tetaplah beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh Allah jalan yang sudah ditentukan baginya.” Lalu Rosulullah membaca surat Al Lail ayat 5-10”. (Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz XVI, hal. 196-197) 
Sesungguhnya Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dengan bekal akal, kekuatan, persiapan tenaga dan ilmu agar ia mampu membedakan mana yang salah dan mana yang benar sebagai standar perbuatannya. Dengan demikian maka secara suka rela manusia akan memilih (tanpa adanya unsur paksaan) suatu kehendaknya sendiri. Karena sesungguhnya taqdir hanyalah pemberitahuan tentang ilmu Allah yang sangat luas, meliputi segala sesuatu dan ilmu Allah tersebut tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. (lihat Imam Al Khattabi dalam Aqidah Islam. Sayyid Sabiq, hal. 151) 
Tak ada seorang manusia pun yang tahu apa yang tertulis bagi dirinya di Lauhul Mahfuzh. Karenanya tidak bisa dibenarkan jika ada seseorang yang berkata : “Saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh Allah SWT di Lauhul Mahfuzh harus berbuat begini”. Karena, darimana ia tahu bahwa Allah telah menuliskan perbuatan tersebut baginya di Lauhul Mahfuzh?
Sesungguhnya beriman kepada taqdir dalam pemahaman yang benar, pasti akan memberikan suatu kekuatan semangat juang yang luar biasa. Pemahaman yang utuh akan memberikan dorongan yang positif untuk meraih kehidupan bahagia yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam garisan syari’at Islam. Selain itu, hal tersebut juga akan memberikan ketabahan dan keberanian dalam membela yang haq, berhati baja dalam merealisasikan hal-hal yang haq serta menetapi segala kewajiban yang dibebankan kepadanya. Tidak ada istilah lemah atau putus asa dalam kamus orang yang beriman kepada taqdir dengan pemahaman yang benar. Ia akan menjadi orang yang bersyukur ketika langkah-langkahnya memberikan keberhasilan/kebaikan dan ia akan menjadi orang yang sabar ketika langkah-langkahnya tidak memberikan keberhasilan.

Asal Mula Munculnya Istilah ‘Qadha dan Qadar’
Akhir abad kedua merupakan masa suburnya penaklukan daerah lain, yang dilakukan oleh Khilafah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia. Banyak hal baru mulai ditemukan, termasuk usaha-usaha menerjemahkan faham-faham di luar Islam semisal filsafat (Yunani). Pada awalnya hanya semacam kebutuhan untuk menjawab dan berdebat dengan mereka setelah dari pihak Nasrani terlebih dahulu mempelajarinya untuk mempertahankan aqidah mereka. Kaum Muslimin tergerak untuk mendalami filsafat Yunani untuk membantah masalah-masalah yang dilontarkan pihak Nashrani, terutama dalam bidang “kebebasan bertindak” (free will). Permasalahan ini terus berkembang dan akhirnya munculah beberapa aliran/pandangan di kalangan kaum muslimin sendiri terhadap permasalahan ini.

1. Faham Qadariyah (Muktazilah)
Ketika Islam telah menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia, kemunculan berbagai faham di dalam ajaran Islam sulit untuk dihindari. Karenanya kemunculan segolongan dari kaum Muslimin yang berpendapat bahwa manusia itu bebas berkehendak atau terlepas dari taqdir Allah SWT adalah salah satu akibat persinggungan Islam dengan budaya setempat. Golongan ini mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak, artinya manusia memiliki kemampuan (qadar) untuk berusaha sendiri. Itulah sebabnya akhirnya golongan ini disebut dengan “Qadariyah”. Mereka menolak pengaturan untuk segala sesuatunya sesuai dengan taqdir (Al-Qadar) maupun dalam ketetapan Allah. Faham ini pertama kali dikembangkan oleh Washil bin Atha’.
Secara garis besar, Muktazilah berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak (iradlah), kekuatan, kekuasaan (qudrat, power) dan kebebasan (huriyyah, freedom) untuk berbuat atau tidak berbuat serta terlepas dari kehendak, kekuasaan dan taqdir Allah. Karena itu, menurut faham ini, wajar dan adil apabila manusia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Golongan ini memandang bahwa manusia sesungguhnya menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiar dan qudratnya sendiri sementara iradlat dan qudrat Allah tidak turut campur dalam perbuatan manusia.
Inilah faham indeterminasi (Qadariyah) dari filsafat Yunani yang merasuk ke pemikiran dunia Islam yang menyebabkan banyaknya orang yang terselewengkan, hanyut oleh pikiran melayang yang akhirnya jatuh ke jurang kesesatan, bahkan pemikiran ini telah mengganggu persatuan umat.
Untuk mendukung pendapat mereka, Muktazilah gemar menakwilkan ayat-ayat Al Qur'an. Ayat-ayat Al Qur'an yang sering dikutip adalah ayat-ayat yang menunjukan bahwa manusia mendapat balasan atas perbuatannya misalnya:
“(Dan) Katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabb-Mu. Maka, siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir...” (QS Al-Kahfi: 29) 
Dalam perkembangannya, faham ini telah dirangkul erat-erat oleh ahli pikir Barat yang ingin menyesatkan kaum Muslimin dengan cara melepaskan mereka dari imannya. Padahal Islam telah memulai risalahnya dengan penanaman iman dan beriman kepada enam rukun iman yang dimulai dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah ikatan yang mengekang manusia dalam menggunakan akalnya, yaitu segala sesuatu telah diberikan batas, dari garis halal dan haramnya.
Muktazilah adalah golongan yang bergerak dalam tiga fungsi: agama-filsafat-politik. Nama lain Muktazilah adalah Qadariyah, Adliyah, atau “Ahlul Adli wat Tauhid” (penganut faham keadilan dan keesaan Allah).

2. Faham Jabariyah 
Faham ini sangat bertolak belakang dengan faham sebelumnya. Mengenai kemunculannya, ada yang berpendapat bahwa faham jabariyah muncul sebelum adanya Muktazilah. Orang pertama yang memelopori faham “Jabariyah” adalah Jahmu bin Sofyan. Ia berkata bahwa manusia itu tidak memiliki kekuasaan untuk memilih. Ia harus pasrah. Ia tidak mengerjakan sesuatu selain apa yang telah ditentukan, dan bahwa Allah telah menakdirkan amal perbuatan manusia yang harus dikerjakan sebagaimana Allah telah menciptakan benda-benda. Ia tidak ubahnya seperti air yang mengalir, angin yang berhembus, batu yang jatuh (tertarik gaya grafitasi). Manusia melakukan sesuatu apapun sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah (ia hanya berfungsi sebagai alat, tidak lebih dari itu). Oleh karena itu, pahala, siksa dan amal perbuatan tidak lain adalah hasil dari paksaan. Allah telah menakdirkan terhadap diri seseorang sesuatu amal perbuatan, misalnya kebaikan, agar orang tersebut mendapat pahala, dan begitu juga kalau Allah telah menakdirkan seseorang yang lain untuk melakukan amal perbuatan maksiat, maka orang tersebut telah ditakdirkan akan mendapat siksa.
Imam Sa’duddin At Taftazany menyebutkan golongan ini berpendapat bahwa manusia sekali-kali tidak menguasai dirinya dalam setiap perbuatan, apakah baik atau jahat. Manusia bukan subyek, melainkan hanya sebagai obyek (kehendak dari luar). Dengan kata lain, manusia dipaksa oleh kekuatan dari luar dirinya, yakni atas kehendak dan kekuasaan Allah. Ia tidak mempunyai kebebasan berkehendak (laa hurriyyatul iradah), dan tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuatu.

3. Faham Asy ‘Ariyah (kadang disebut Ahlussunnah)
Mohammad Fuad Fachruddin mengatakan bahwa kemunculan dua faham di atas, mendorong kalangan ulama Ahlussunnah, seperti Abul Hasan Al Asy’ari dan Mansur Al Maturidy memberikan jawaban untuk membela aqidah Islam agar tidak tersesat oleh faham Muktazilah (Qadariyah) maupun Jabariyah.
Walaupun di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah terbagi dua golongan, tetapi mereka sepakat bahwa manusia mempunyai (diberi) kebebasan berkehendak, berkuasa dan berpengetahuan (knowledge), tetapi hanya sampai ujung tertentu (ada batasnya/dibatasi).
Faham ini berpendapat bahwa sesungguhnya pada diri manusia ada kehendak berbuat dan ada khasiat yang melahirkan perbuatan. Semua itu diciptakan Allah SWT tatkala seseorang ‘memulai’ melakukan suatu perbuatan, sampai pada suatu ‘batas’, yang saat ‘batas’ itulah Allah menentukan, jadi tidaknya perbuatan tersebut. Jadi ketika seseorang akan/sedang berbuat maksiat atau perbuatan terpuji, maka ketika itulah Allah menciptakan perbuatan tersebut bagi si hamba. Kesimpulan itu diambil dari beberapa ayat Al Qur'an, antara lain:
“Mereka itulah penghuni jannah. Mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al Ahqaf: 14) “(Dan) Katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Rabb-Mu. Maka, siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman. Dan siapa saja yang ingin (kafir), biarlah ia kafir...” (QS Al Kahfi: 29) 
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS Al Baqarah: 286)
Dalam pembahasan ayat-ayat tersebut, faham ini memunculkan sifat Maha Adil (keadilan) Allah. Mereka mengaitkan sifat Maha Adil itu dengan dosa dan pahala, atau siksa dan kenikmatan, yang erat kaitannya dengan perbuatan.

Bagaimana Menyikapi Berbagai Faham Ini ?
Demikianlah, kaum Muslimin terpecah ke dalam tiga golongan besar ketika mereka membahas amal/perbuatan manusia yang dikaitkan dengan asas taklif, pahala dan siksa. Terjadinya golongan-golongan tersebut disebabkan karena mereka menakwilkan beberapa nash ayat Al Qur'an tentang perbuatan manusia sendiri, juga karena ada nash dari ayat Al Qur'an yang menurut mereka menunjukan bahwa perbuatan manusia tergantung kepada kehendak Allah. Golongan pertama dari kalangan Mu’tazilah, golongan kedua dari golongan Jabbariyah. Namun ada golongan yang berada di tengah-tengah kedua golongan tersebut, yaitu dari kalangan Ahlussunnah.

Dasar Pembahasan Masalah ‘Qadha dan Qadar’
Sesungguhnya, apabila kita meneliti masalah ‘qadha dan qadar’ (sebagai suatu istilah baru, yang memiliki makna tersendiri) akan kita dapati bahwa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu dasar berdirinya pembahasan ini atau dengan kata lain, apa yang menjadi dasar pembahasan dalam permasalahan qadha dan qadar ini. 
Sesungguhnya, dasar pembahasan/permasalahan ini adalah pertanyaan :
Apakah manusia itu dipaksa untuk melakukan (atau meninggalkan) suatu perbuatan (baik atau buruk), ataukah ia diberi kebebasan memilih ?
Inilah yang menjadi dasar pembahasan masalah ‘qadha dan qadar’, yaitu ‘perbuatan manusia’. Karena ‘perbuatan manusia’ merupakan hal yang dapat diindera bahkan dapat dirasakan, maka dalil-dalilnyapun bersifat aqli. Dengan demikian jelaslah permasalahan yang akan dibahas dalam tema ‘qadha dan qadar’ ini.

Hakikat Perbuatan Manusia dan Kejadian-Kejadian yang Menimpa Manusia
Sesungguhnya, apabila kita meneliti suatu perbuatan/kejadian, yang dilakukan atau yang menimpa manusia, akan kita jumpai bahwasanya manusia itu hidup dan beraktivitas dalam dua jenis perbuatan yaitu :
a. Perbuatan yang berada di bawah kontrol manusia, yang timbul karena semata-mata pilihan dan keinginannya sendiri.
b. Perbuatan yang berada di luar kontrol dan keinginan manusia. Pada bagian ini manusia berbuat atau terkena perbuatan yang berada di luat kemampuan dan kehendaknya. Manusia dipaksa menerimanya.
Contoh perbuatan dan kejadian yang pertama mudah diketahui, semisal, apakah kita mau duduk atau berjalan, makan-minum atau tidak, minum sirup atau khamir, berbakti atau durhaka kepada orang tua, belajar atau tidak dan lain-lain. Seluruh perbuatan ini jelas dilakukan atas kesadaran dan kesukarelaan manusia, tanpa paksaan dari pihak manapun.
Pada jenis perbuatan yang kedua manusia tidak memiliki peran apapun atas kejadiannya. Manusia dipaksa untuk menerimanya, sukarela maupun terpaksa, karena memang berada di luar kekuasaan manusia.
Jenis perbuatan dan kejadian-kejadian kedua ini terdiri dari dua bentuk. Pertama, kejadian yang ditentukan oleh ‘nidzom wujud’ (Sunnatullah/peraturan alami). Misalnya ia lahir dari seorang ibu dengan bentuk fisik dan warna kulit tertentu, hidup terikat dengan gravitasi bumi, ia tidak dapat terbang dan bernafas dalam air, dsb. 
Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh ‘nidzom wujud’, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, seperti seseorang yang terjatuh dari atas tembok dan menimpa orang lain dan orang yang tertimpa tersebut meninggal, atau seperti halnya kecelakaan pesawat, kereta api dan mobil disebabkan karena kerusakan mendadak, baik yang berasal dari manusia atau yang malah diluar kemampuannya. Meskipun tidak ditentukan oleh ‘nidzom wujud’, akan tetapi semua kejadian itu tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada di luar kekuasaannya.
Segala perbuatan dan kejadian yang berada di luar kontrol manusia tersebut inilah yang dinamakan qadha (keputusan) Allah. Sebab Allahlah yang meng-‘qadha’ (memutuskannya). Terlepas apakah hal/keputusan itu menjadi kebaikan (qadha yang baik) atau keburukan (qadha yang buruk), menurut penafsiran manusia. Yang jelas, kebaikan/keburukan tersebut bukan menimpa kita karena adanya ‘hari baik, hari sial, memakai jimat/mantra dsb. Semua itu diputuskan oleh Allah untuk menimpa kita. Inilah qadha Allah SWT, dan tidak ada satu makhlukpun yang dapat menentukan hal ini selain Allah semata.
Oleh karena itu seorang hamba tidak akan dihisab atas terjadinya kejadian-kejadian ini. Meskipun kejadian tersebut mengandung manfaat atau kerugian, disukai atau dibenci oleh manusia. Manusia tidak akan dihisab atas kejadian ini, sebab manusia tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian tersebut, serta tidak tahu menahu mengenai kejadian tersebut, bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Ia pun tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha, dan bahwasannya qadha itu datang dari Allah SWT, bukan dari yang lain.













Itulah pengertian qadha (dalam pembahasan istilah ‘qadha dan qadar’ yang digabungkan ini). Sedangkan untuk memahami pengertian qadar, dapat disimak dari uraian berikut ini:

Memahami Makna Qadar
Bahwasanya segala perbuatan dan kejadian, baik jenis yang pertama maupun yang kedua, semuanya terjadi dari benda menimpa (terhadap benda), baik benda itu termasuk dalam unsur alam semesta, manusia maupun kehidupan. Misalnya, peristiwa tabrakan antara mobil (benda, bersifat keras) dengan manusia, kebakaran, antara api dengan benda lain, dsb.
Sesungguhnya, Allah SWT juga telah menciptakan benda-benda tersebut beserta khasiat-khasiat/karakteristik (sifat-sifat) tertentu pada benda-benda tersebut. Contohnya saja di dalam api diciptakan ‘khasiat’ membakar. Dalam kayu terdapat ‘khasiat’ terbakar. Dalam pisau (benda tajam) terdapat khasiat memotong, demikian seterusnya. Pada manusia ada rasa lapar, haus dll. Juga ada gharizah/naluri, seperti naluri seksual, mempertahankan diri, beragama, dsb.
Allah SWT telah menjadikan khasiat-khasiat itu tunduk sesuai dengan ‘nidzom wujud’ yang tidak bisa dilanggar lagi. Bila suatu waktu tampak khasiat ini melanggar ‘nidzom wujud’, hal ini karena Allah SWT telah menarik khasiat tadi. Hal ini merupakan sesuatu yang berada di luar kebiasaan, yang hanya terjadi bagi para nabi dan menjadi mukjizat bagi mereka.
Seluruh khasiat yang diciptakan oleh Allah ini, baik yang terdapat pada benda-benda ataupun yang terdapat pada manusia (gharizah serta kebutuhan jasmani), inilah yang dinamakan qadar (penetapan batasan/kadar). Sebab hanya Allah sendiri yang menciptakan benda-benda, gharizah-gharizah serta kebutuhan jasmani tersebut. Dan Ia menetapkan khasiat-khasiat di dalamnya. Khasiat-khasiat ini tidak datang dengan sendirinya dari unsur-unsur tersebut --seperti pernyataan orang-orang atheis (materialis).
Dalam masalah ini, manusia sama sekali tidak memiliki andil atau pengaruh apapun. Ia hanya diwajibkan untuk mengimani bahwa yang menetapkan khasiat-khasiat dalam benda-benda tersebut hanyalah Allah SWT.
Perlu dipahami bahwa seluruh khasiat ini memiliki ‘qabiliyyah’ (tendensi/kecenderungan) untuk digunakan oleh manusia guna berbuat suatu amal perbuatan. Apakah perbuatan itu berupa kebaikan ataukah keburukan. Apabila digunakan sesuai dengan perintah Allah, perbuatan tersebut berarti perbuatan ‘baik’. Sedangkan apabila digunakan untuk melanggar aturan Allah SWT, berarti ia telah berbuat ‘jahat’. Baik ia melakukan perbuatannya itu dengan menggunakan khasiat-khasiat yang ada pada benda, atau dengan memenuhi panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya.

Makna Iman kepada Qadha - Qadar, Baik-buruknya dari Allah SWT
Dengan demikian, perbuatan atau kejadian yang berada di luar kontrol dan kemauan manusia, datangnya dari Allah, apakah baik atau buruk. Dan khasiat-khasiat yang ada pada benda-benda, gharizah-gharizah serta kebutuhan jasmani juga datangnya dari Allah, baik hal itu bisa menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadha, baik dan buruknya dari Allah SWT.
Dengan kata lain meng’itiqadkan bahwasanya perbuatan dan kejadian yang berada di luar kekuasaannya adalah dari Allah SWT. Dan wajib pula bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadar, baik dan buruknya dari Allah SWT. Baik khasiat-khasiat tersebut dapat menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Manusia sebagai makhluk tidak mempunyai pengaruh apapun dalam hal ini. Misalnya terhadap ajalnya, rizkinya dan dirinya, kecenderungan seksualnya yang terdapat pada gharizatun nau’, atau rasa lapar dan haus yang terdapat pada kebutuhan jasmaninya. Hal ini semuanya datang dari Allah SWT semata.

Amal Manusia Yang Akan Dihisab
Demikianlah pembahasan yang berkaitan dengan perbuatan dan kejadian yang terjadi di luar kontrol dan kemauan manusia. Adapun pada perbuatan dan kejadian yang berada di bawah kontrol dan kemauan manusia maka pada wilayah ini manusia berjalan ‘secara sukarela’ di atas ‘nidzom’ (peraturan) yang dipilihnya, baik itu syari’at Allah atau syari’at yang lainnya. Pada bagian inilah terjadi kejadian dan perbuatan yang berasal atau menimpa manusia disebabkan kehendaknya sendiri. Ia berjalan, makan, minum, dan bepergian kapan saja dikehendakinya. Ia membakar dengan api dan memotong dengan pisau apa saja yang dikehendakinya. Dan ia memuaskan keinginan seksualnya atau keinginan memiliki barang, ataupun keinginan perutnya dengan cara apapun yang ia kehendaki. Ia ‘melakukannya’ dengan sukarela sebagaimana ia ‘tidak melakukannya’ juga dengan sukarela, karena itulah ia akan ditanya atas perbuatan-perbuatannya di dalam bagian ini.
Bila terjadi suatu perbuatan atau kejadian, bukan ‘qadar’ ini yang melakukan perbuatan, melainkan manusialah yang melakukan perbuatan dengan memanfaatkan khasiat tadi. Dorongan seksual yang terdapat pada gharizatun nau’ memang mempunyai ‘qabiliah’ (kecenderungan) untuk kebaikan atau keburukan, namun manusialah yang menggunakan sesuai dengan pilihannya.
Hal ini karena Allah SWT telah menciptakan akal bagi manusia yang mampu membedakan. Di dalam tabi’at akal ini diciptakan kemampuan memahami serta membeda-bedakan; mana yang baik (taqwa), dan mana yang buruk, sebagaimana firman-Nya:
”(Dan) Ia pun memberinya ilham akan mana yang buruk dan mana yang taqwa.” [QS. As-Syams: 8] 
Dan disisi lain, Allah telah menunjukan kepada manusia jalan baik dan buruk.
”Telah Kami tunjukan padanya dua jalan.” [QS. Al-Balad: 10]
Maka apabila manusia memuaskan panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT berarti ia telah melakukan kebaikan dan berjalan di atas jalan taqwa. Akan tetapi apabila ia memenuhi panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya seraya berpaling dari perintah Allah dan larangan-Nya berarti ia telah melakukan perbuatan buruk dan berjalan di atas jalan kejahatan. Berdasar hal inilah manusia dihisab atas perbuatan-perbuatan yang berada pada kontrolnya. Kemudian diberi pahala dan dosa tergantung pada perbuatannya. Sebab ia melakukan secara sukarela tanpa ada paksaan sedikitpun (qadar Allah pada benda dan manusia tidak pernah ‘memaksa’ manusia untuk berbuat sesuatu).
Allah menjadikan akal sebagai sandaran (manath) pembebanan kewajiban syari’at. Karenanya Allah menyediakan pahala bagi perbuatan baik, sebab akalnya telah memilih untuk menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan untuk perbuatan jahat, manusia disediakan siksaan, sebab akalnya telah memilih untuk melanggar perintah dan larangan Allah. Sebagaimana firman-Nya : “Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS Al Mudatsir: 38)
Sumber: Mafahim BKLDK

Iman Kepada Hari Kiamat

 Seorang muslim beriman bahwa kehidupan di dunia akan musnah dan berakhir, kemudian berganti dengan kehidupan kedua di alam akhirat. Keyakinan ini merupakan bagian dari rukun iman (dasar-dasar keimanan). Bukti-bukti keimanan adanya hari kiamat adalah dalil naqli (Al Qur'an dan Al Hadits) bukan dalil aqli. Sebab, hari kiamat adalah sesuatu yang tidak terjangkau panca indera manusia, sehingga akal tidak mampu menemukannya dengan pasti berdasarkan usaha penginderaan terhadap sesuatu. Tanpa adanya berita tentang hari kiamat dari wahyu Allah, maka manusia tidak mengetahui apakah ada atau tidak hari kebangkitan sesudah mati, serta bagaimana bentuk kehidupan sesudah mati itu? Dalil-dalil naqli tersebut antara lain : 
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak dibangkitkan. Katakanlah, “Tidak demikian. Demi Tuhanku, kalian benar-benar pasti dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. Hal demikian adalah mudah bagi Allah.” [QS. At -Taghaabun: 7] 
Juga hadits shohih Muslim, ketika Jibril mengajarkan kepada Rasulullah SAW:
“Ketika Jibril menanyakan kepada Rasulullah tentang iman, maka Rasulullah menjawab: “Hendaklah engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, juga kepada hari kiamat. Dan hendaklah engkau beriman kepada Qodar yang baik dan buruk (dari Allah) .”
Waktu dan Tanda-tanda Hari Kiamat
Manusia selalu bertanya kapankah terjadinya hari kiamat. Sesungguhnya hanya Allah yang tahu dengan pasti dan tepat, kapan terjadinya. Allah SWT berfirman:
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya? Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu ada di sisi Rabbku. Tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba’. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Hari Kiamat itu ada di sisi Allah. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [QS. Al-A’Raaf: 187] 
Meskipun Al Qur'an dan Al Hadits tidak secara pasti menjelaskan waktu hari kiamat, namun dalam banyak hadits, --meski tidak kepada derajat muttawatir dan meski masih diperselisihkan dalam beberapa hal di kalangan kaum muslimin--digambarkan beberapa tanda-tanda kedekatannya, a.l.: 
Banyaknya mode pakaian telanjang. Jumlah orang beriman sedikit. Zina dan minuman memabukkan serta kejahatan-kejahatan lain merajalela. Perhiasan masjid yang berlebihan dan suara hiruk pikuk lebih sering terdengar di masjid. Penyalahgunaan jabatan. Perpecahan umat Islam/negeri-negeri Islam akibat fitnah oleh musuh-musuh Islam. Kehancuran peradaban Islam dan akan kembali jaya dan berkuasanya kaum muslimin dikemudian hari sehingga kaum muslimin menguasai pusat kekuasaan Khatolik Nashrani di Roma dan tersebarnya Islam ke seluruh dunia. Perperangan antar umat Islam dengan Yahudi yang berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin.
Juga munculnya Dajjal di tengah ummat Islam untuk menyesatkan manusia. Muncul Muhammad Al Mahdi di bumi untuk menegakkan keadilan dan kekuasaan umat Islam. Turunnya Nabi Isa untuk meluruskan ajaran Nashrani (ajaran trinitas, yakni menuhankan Nabi Isa), mengislamkan orang Nashrani, menghancurkan salib-salib, menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan syari‘at Islam, membunuh Dajjal kemudian beliau kawin lalu meninggal dan dikuburkan dekat makam Rasulullah SAW. Munculnya Daabbah (binatang ajaib) yang dapat berbicara kepada manusia untuk menunjukkan kepalsuan dan ketidakbenaran ajaran semua agama selain Islam, serta memperingatkan orang-orang yang tidak percaya dengan ayat-ayat Allah (tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah). Matahari akan terbit dari arah barat dan itu terjadi setelah Nabi Isa wafat. Pada saat itulah pintu taubat ditutup. Munculnya Ya’juj dan Ma’juj (dua bangsa dari sebelah Timur) menyerang kaum muslimin bagaikan air bah, tetapi peperangan itu akan berakhir dengan kehancuran tentara Ya’juj dan Ma’juj oleh Allah dengan kemenangan di fihak kaum Muslimin (ini terjadi pada masa Nabi Isa masih hidup). Kemudian Allah akan mengirimkan kabut tipis yang menyebabkan kematian seluruh kaum muslimin dan tinggallah orang-orang kafir (jahat). Terjadi gempa bumi di Timur/Barat dan seluruh Jazirah Arab, disertai munculnya api di daerah Yaman, sehingga orang-orang berlari ke arah Syam dan di sini mereka mati setelah ditiup sangkakala. Pada saat itulah Kiamat yang sesungguhnya terjadi.
Inilah gambaran ringkas kondisi yang menunjukan sudah sangat dekatnya hari kiamat. Hanya saja, selain gambaran-gambaran tersebut masih diperselisihkan kepastiannya – karena dasarnya hanya berupa hadits-hadits yang tidak mencapai derajat muttawatir – seorang Muslim yakin bahwa Allah mampu mewujudkan kiamat kapan saja yang Ia kehendaki. Selain itu, yang penting bagi kita tentu bukanlah dapat menyaksikan kiamat itu atau tidak, tetapi sejauh mana kesiapan menghadapi kejadian-kejadian setelah hari berbangkit tersebut. Harus juga dipahami bahwa kematian seseorang, sudah termasuk “kiamat” (kecil) bagi dirinya.
Nasib Manusia pada Hari Kiamat
Al Qur'an menerangkan bahwa hari kiamat terjadi setelah ditiupnya sangkakala pertama oleh Malaikat Isrofil. Pada saat itu, semua makhluk binasa kecuali mereka yang dikehendaki Allah, kemudian ditiupkan sangkakala untuk kedua kalinya agar semua makhluk berdiri dan menuju Padang Mahsyar untuk perhitungan amalnya. Firman Allah SWT :
“(Dan) ditiuplah sangkakala, maka matilah apa yang ada di langit dan bumi kecuali yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing) .” [QS. Az- Zumar: 68] 
Pada hari perhitungan/hisab, segala sesuatu akan disaksikan oleh manusia, binatang dan semua makhluk, sejak Nabi Adam hingga makhluk terakhir. Ia juga akan disaksikan oleh ayah-ibunya, neneknya dan kawan-kawannya. Allah SWT berfirman:
“Bacalah kitabmu sendiri yang pada hari itu cukuplah sebagai penghisab terhadapmu.” [QS. Al-Israa’: 14]
“Pada hari itu semua berita akan bercerita sendiri.” [QS. Az-Zalzalah: 4]
Orang-orang yang beriman kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, maka ia pasti diampuni dosa-dosanya. Sebab Allah akan mengampuni semua dosa manusia semasa hidupnya, kecuali dosa syirik. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik (menyekutukan Dia). Dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Siapa saja yang menyekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia tersesat sejauh-jauhnya.” [QS. An-Nisaa’: 116] 
Kedzaliman antar manusia di dunia merupakan dosa yang tidak terhindarkan. Namun, ia akan diadili dengan seadil-adilnya. Mereka yang merampas harta orang lain, mencuri, memperkosa, membunuh, menganiaya, mereka yang mengetahui di kanan kirinya banyak orang miskin, tersiksa dan memerlukan bantuan tetapi ia membiarkannya, mereka yang tidak benar ketika bergaul, berpolitik maupun berdagang, mereka yang berdosa besar maupun kecil, berjual beli secara bathil, membuka aurat di depan umum dan berteriak-teriak di jalanan, berbisik, mengukur dan menimbang secara curang, hubungan antara majikan dengan buruh buruk, serta berbagai persoalan keluarga. Semua bentuk perbuatan tersebut pasti diadili, yaitu disaat tidak ada partai dan golongan, kebangsaan, kesukuan maupun ikatan lainnya yang dapat membantu mereka dari peradilan yang seadil-adilnya.
Segala caci maki, tuduhan yang semena-mena tanpa bukti, menyakiti orang lain, bergunjing, mengkritik dengan maksud buruk, kata-kata yang keluar tanpa makna, menyia-nyiakan waktu, berhutang tetapi tidak mau membayar, berjudi dan berzina, serta 1001 macam persoalan kehidupan manusia, semua pasti diadili dan mendapat hukuman Allah pada hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah:
“Tahukan engkau siapa orang-orang miskin (bangkrut) itu? Mereka adalah umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan shalat, shaum, zakatnya, tetapi mereka telah mencaci maki, menuduh seseorang tanpa bukti, sehingga semua perbuatannya itu menyebabkan ia telah menghilangkan kebaikannya. Kemudian ia ditenggelamkan ke dalam jahannam.”
Orang-orang yang jumlah dosanya lebih banyak daripada amal kebajikannya, mereka pasti disiksa dalam neraka jahannam. Sedangkan orang-orang yang jumlah amal kebajikannya lebih banyak daripada amal kejahatannya, maka mereka akan mendapat balasan kenikmatan di jannah. Tetapi akan berbeda terhadap orang-orang yang jumlah amal kebajikannya seimbang dengan amal kejahatannya, maka mereka akan ditangguhkan, tidak dimasukan ke dalam jannah atau jahannam. Mereka akan ditempatkan di suatu lokasi yang disebut Al A’raaf sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dari tempat ini, mereka dapat menyaksikan bagaimana pedihnya siksa jahannam dan bagaimana pula kenikmatan yang diperoleh oleh penghuni jannah. Namun penghuni Al A’raaf ini suatu waktu pasti dimasukan Allah ke dalam jannah. Hal ini dijelaskan dalam ayat 46-47 surat Al A’raaf.

Kenikmatan Jannah (Surga)
Kehidupan di dalam jannah adalah abadi, penuh dengan kesenangan dan kenikmatan. Allah SWT berfirman:
“Masukilah jannah itu dengan aman, itulah hari kekekalan.” [QS. Qaaf: 34) 
Penghuni jannah akan bertemu dengan ayah, suami, istri, para famili, dan para cucunya yang beramal shalih dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Para malaikat akan masuk dari segala penjuru dengan menyampaikan salam. Gambaran tersebut, sekilas ditunjukan oleh firman-Nya:
“(Itulah) Jannah ‘Adn, tempat mukim mereka, bersama orang-orang shalih dari bapak, istri, dan anak cucu mereka. Sementara itu, para malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu, (sambil berucap): ‘Sejahtera atas kalian seluruhnya karena kesabaran kalian’. Maka, alangkah baiknya tempat berakhir itu.” [QS. Ar-Ra’ad: 23-24] 
Tentang sifat-sifat jannah, Rasulullah SAW bersabda: 
“Siapa saja yang masuk jannah, maka ia pasti merasakan senang dan tidak pernah putus asa. Ia berpakaian yang tidak lepas, masa remaja yang tidak pernah pudar, matanya melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat sebelumnya, telinganya mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya, dan hati manusia tidak pernah mengkhayalkan sesuatu hal yang ada sebelumnya.” (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah)
Saat itu manusia akan melihat Rabbnya. Ini dinyatakan Rasulullah SAW sebagai saat yang maha indah. Di dalam jannah berlimpah buah-buahan yang tidak putus-putusnya dan tidak pernah terhalang. Allah SWT berfirman :
“Dan buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak dilarang mengambilnya.” (QS. Al- Waqi’ah: 32-33)

Siksaan Jahannam (Neraka)
Tentang siksaan terhadap orang kafir dan dzalim di dalam jahannam, Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api jahanam yang bahan bakarnya adalah (tubuh) manusia dan bebatuan; penjaganya para malaikat yang kasar, keras, (dan) tidak (pernah) membantah kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6) 
Sedangkan kedudukan orang-orang munafik, mereka akan berada di kerak/dasar jahannam yang paling bawah.
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (tempat mereka) berada pada tingkatan yang paling bawah dari jahannam, dan kamu sekali-kali tidak mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. An-Nisaa’: 145) 
Allah SWT juga mengingatkan kepada manusia bahwa siksa jahannam amatlah pedih. “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, maka kelak akan Kami masukan mereka ke dalam jahannam. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain (baru) supaya mereka merasakan adzab. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. An- Nisaa’: 56) 

Adzab Jahannam adalah Siksaan Fisik (tidak hanya ruh) dan Kenikmatan Jannah adalah Kesenangan Sempurna
Siksaan jahannam dan kenikmatan jannah adalah abadi dan kekal. Semua itu merupakan akibat perbuatan manusia di dunia. Semua dirasakan secara fisik, bukan secara roh. Tentang pendapat bahwa kenikmatan maupun siksaan pada kedua tempat tersebut dirasakan manusia dalam bentuk roh, maka pernyataan tersebut terbantah dengan memperhatikan firman Allah SWT:
“Ketika (itu) belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret. (Kemudian mereka dimasukan) ke dalam api yang sangat panas, lalu mereka dibakar di dalam api (yang menyala-nyala).” (QS. Al-Mu’min: 71-72)
Begitu pula sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur'an surat At-Taubah: 35; dan Al-Ma’aarij: 15-16; dan Al-Fathir: 33.
  Bagaimana mungkin siksaan yang disebutkan pada ayat-ayat Al Qur'an tersebut bentuknya adalah siksaan yang bersifat ruh? Bahkan patut pula diketahui bahwa kehidupan akhirat tersebut mempunyai persamaan dengan kehidupan dunia, yaitu adanya perasaan, pengertian, kepuasan dan adanya makhluk (hewan dan tumbuhan) yang akan menemani kehidupan manusia di jannah. Allah SWT berfirman:
“(Dan) Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini.” [QS. Ath-Thuur: 22] 
Rasulullah SAW bersabda:
“Ahli jannah makan dan minum di dalam jannah tetapi mereka tidak buang air besar, tidak buang ingus dan tidak kencing.” (HR Muslim dari Jabir ra) 
Dari Nu’man bin Basyir ra, ia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah bersabda:
“Seringan-ringnnya siksa pada hari Kiamat adalah orang yang padanya diletakan dua bara api di bawah tumitnya yang mampu mendidihkan otaknya. Pada saat itu dia merasa bahwa tidak seorangpun yang lebih berat siksaan yang diterimanya dibandingkan dengan orang lain. Padahal sesungguhnya itulah siksa seringan-ringannya.” (HR Bukhari Muslim) Dampak Iman Kepada Hari Kiamat
Iman pada hari kiamat akan mampu mendorong setiap mukmin untuk berpikir sebelum melakukan tindakan. Sebab ia yakin bahwa semua amal perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban dan ia menerima balasannya, baik atau buruk sesuai dengan perbuatannya itu. Allah SWT berfirman:
“Siapa saja yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, maka pasti ia melihat (balasan)nya, dan siapapun yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, juga pasti melihat (balasan)nya.” [QS. Az-Zalzalah: 7-8] 
Karena itu, iman kepada hari akhir mempunyai dampak positif bagi kehidupan seseorang, yakni:
(a) Senantiasa menjaga diri untuk selalu taat kepada Allah SWT dan berusaha menjauhi segala larangan-Nya karena takut siksaan kelak di kemudian hari.
(b) Menghibur dan mendorong untuk bersabar, bahwa kebahagiaan bagi mukmin yang belum diperolehnya di dunia akan diterimanya di kemudian hari. (lihat “Aqidah Ahlus Sunnah”, Muhammad Shalih, terj. Hal.89).
Catatan Amal Perbuatan Manusia
Iman kepada Hari Kiamat membawa konsekuensi logis untuk iman kepada adanya catatan amal perbuatan manusia. Setiap manusia akan menerimanya pada hari pembalasan itu. Allah SWT berfirman:
“(Dan) Setiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tepatnya kalung) pada lehernya. Dan Kami berikan kepadanya pada Hari Kiamat sebuah kitab (catatan amal perbuatan) yang dijumpainya terbuka : ‘Bacalah kitabmu. Maka, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab.” [QS. Al Israa’: 13-14]
Al Qur'an menjelaskan bahwa orang-orang mukmin akan diberikan catatan amal perbuatan mereka melalui tangan kanannya dari depan, sedangkan orang-orang mukmin yang berdosa besar akan menerimanya melalui tangan kanannya tapi dari belakang. Hal itu akan berbeda terhadap orang-orang kafir. Mereka pasti menerima catatan amal perbuatannya melalui tangan kirinya. Kejadian ini digambarkan dengan jelas melalui firman Allah SWT pada ayat 19 sampai 37 surat Al Haaqqah.
Bagi kaum muslimin, iman kepada Hari Kiamat sesungguhnya akan berdampak kuat bagi setiap amal perbuatannya. Mereka pasti berlomba-lomba menjalankan semua perintah Allah yakni syari’at yang dibawa rasul-Nya, Muhammad SAW, yaitu syariat Islam. Hari Kiamat merupakan hari yang pasti datangnya. Seluruh manusia akan menemuinya, baik secara sukarela maupun terpaksa. Dan sesungguhnya siksaan maupun kenikmatan yang diterima setiap manusia merupakan akibat logis dari seluruh amal perbuatannya selama ia hidup di dunia.
Sumber: Mafahim BKLDK

Iman Kepada Rasul-rasulNya dan Termasuk Muhammad Saw.

Adapun bukti mengenai hubungan manusia terhadap para rasul dapat kita lihat dari terbuktinya manusia sebagai mahluk Allah SWT yang bersifat terbatas, akal dan kemampuannya. Juga dapat dilihat dari terbuktinya agama itu sebagai suatu hal yang fitri dalam diri manusia, karena ia merupakan salah satu fitrah pen-taqdis-an (pengagungan dan pensucian-peny) manusia. Dalam fitrahnya itu manusia senantiasa mentaqdiskan Penciptanya. Pekerjaan mentaqdiskan inilah yang selanjutnya dikenal sebagai ibadah, yang merupakan tali penghubung antara manusia dan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan sendiri tanpa aturan akan cenderung terjadi kekacauan ibadah serta menyebabkan terjadinya penyembahan terhadap selain dari pencipta yang sebenarnya. Jadi harus ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini dengan baik. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, karena ia sendiri tidak mampu memahami hakekat Al Khaliq (maksudnya tentang perbuatannya, apakah perbuatan itu diterima atau ditolak oleh Al Khaliq-peny) untuk dapat meletakkan aturan antara dirinya dengan Sang Pencipta. Karenanya aturan ini harus datang dari Al Khaliq serta harus sampai ke tangan manusia. Maka tidak boleh tidak harus ada para rasul yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia.
Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap para rasul adalah bahwa pemuasan manusia akan tuntutan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan gharizah/nalurinya merupakan hal yang mutlak diperlukan. Jika pemuasan ini dibiarkan berjalan tanpa aturan akan menjadi pemuasan yang salah, berlebihan serta menyebabkan malapetaka bagi manusia. Karena itu harus ada aturan yang mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani ini. Tetapi aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, sebab pemahamannya dalam mengatur gharizah dan kebutuhan jasmani selalu menjadi obyek (sasaran) kekeliruan, perselisihan dan keterpengaruhan oleh lingkungan yang didiaminya. Maka dari itu aturan tersebut harus datang dari Allah SWT, yang untuk dapat sampai ke tangan manusia, haruslah melalui seorang rasul.
Dalil yang menunjukkan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah adalah dalil aqli. Karena telah terbukti secara aqli bahwa Al Quran berasal dari Allah Sedangkan Muhammad adalah orang yang membawa Al Quran. Al Quran sendiri adalah kalam Allah dan Syari'at-Nya. Dan tidak ada yang membawa kalam Allah dan syariat-Nya, kecuali para Nabi dan Rasul. Dengan demikian, maka Muhammad saw. adalah Nabi dan Rasul berdasarkan dalil aqli. Adapun keimanan kepada para Rasul dan Nabi Allah yang lainnya, maka dalilnya adalah naqli bukan aqli. Al Quran telah menjelaskan tentang hal ini, misalnya keimanan bahwa sesunguhnya Nuh adalah Rasul, demikian juga halnya dengan ldris, lbrahim, Ismail, Musa dan lain-lain. Mereka semua adalah para Rasul. Firman Allah:
“Semuanya beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, (seraya mereka mengatakan) ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang (dengan yang lain) daripada rasul-rasul-Nya’” [QS. Al-Baqarah: 285].
Maksudnya adalah bahwa mereka semua adalah Rasul yang diutus Allah dengan membawa perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.
Sumber: Mafahim BKLDK

Iman Kepada kitab-KitabNya

Al Quran Berasal Dan Sisi Allah SWT
Al Quran merupakan sebuah kitab berbahasa arab yang dibawa oleh Muhammad saw. Dalam menentukan darimana asal Al Quran, akan kita dapatkan 3 kemungkinan, yaitu: 1) kitab itu merupakan karangan orang Arab, 2) kitab itu merupakan karangan Nabi Muhammad saw., atau 3) kitab itu berasal dari Allah Kiranya, tidak ada lagi kemungkinan selain ketiga ini, dilihat dari kenyataan bahwa Al Quran menggunakan bahasa Arab dan usluub (gaya bahasa) Arab. Pembahasan dari Ketiga kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut:  
a. Pertama, ia merupakan karangan bangsa Arab.
 Kemungkinan yang pertama ini, yang mengatakan bahwa Al Qur'an merupakan karangan bangsa Arab adalah suatu kemungkinan yang bathil. Sebab Al Qur'an sendiri menantang mereka (bangsa Arab) untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat :
“Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar".” [QS Hud: 13]
“Katakanlah: ‘Kalau benar yang kamu katakan maka coba datangkan sebuah surat yang menyamainya.” [QS Yunus: 38]
Bangsa Arab telah berusaha untuk menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Jadi Al Qur'an bukan berasal dari perkataan orang Arab, karena ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan karya yang serupa.
b. Kedua, ia merupakan karangan Muhammad SAW. 
Adapun kemungkinan yang kedua, yang mengatakan bahwa Al Qur'an itu karangan Muhammad SAW, adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari bangsanya. Selama bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad SAW yang orang Arab itu juga tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Jelaslah bahwa Al Qur'an, bukan karangannya.
Hal tersebut makin diperkuat dengan banyaknya hadits-hadits shahih dan mutawatir dari Nabi Muhammad SAW, yang bila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al Qur'an maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasa (uslub), padahal keduanya berasal dari orang yang sama. Akan tetapi keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun kerasnya seseorang menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap akan terdapat kemiripan antara gaya bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain. Jadi karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al Qur'an dengan gaya bahasa hadits maka yakinlah bahwa Al Qur'an itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian maka terbantahlah kemungkinan pertama dan kedua. Kini tinggal tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu bahwa Al Qur'an itu di sadur oleh Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama Jabr. Tuduhan itu ditolak keras oleh Allah SWT melalui firmannya:
“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non arab), sedangkan Al Qur'an itu dalam bahasa Arab yang jelas.” [QS An-Nahl: 103]
Inilah pembuktian yang jelas bahwa Al Qur'an itu bukan karangan bangsa Arab atau karangan Muhammad SAW. Al Qur'an adalah perkataan Allah (kalamullah) yang menjadi mukjizat bagi pembawanya (Muhammad SAW). Tidak ada kemungkinan lain selain ini, dilihat dari kenyataan bahwa Al Qur'an itu berbahasa Arab.
c. Ketiga, ia berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan pembawanya. 
Setelah kedua kemungkinan tersebut terbantahkan, kini hanya tinggal satu kemungkinan yaitu bahwa Al Qur’an itu adalah kalamullah. Kemungkinan inilah yang shahih di antara tiga kemungkinan yang ada. Kemungkinan ini sekaligus membuktikan bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah karena tidak ada yang membawa syariat dan mukjizat kecuali seorang nabi dan rasul. Sedangkan yang membawa syariat (Al Qur’an) tersebut tidak lain adalah Muhammad SAW.

Al Qur’an merupakan kitab suci yang dipelihara/dijaga keasliannya langsung oleh Allah dan sekaligus berfungsi sebagai penyempurna dan penghapus syari’at-syari’at nabi dan rasul sebelumnya. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” [QS. Al-Hijr: 9]
“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu.” (QS Al-Maidah: 48)
Al Qur’an telah mampu mengadakan revolusi mental dan sosial serta mengubah dan menuntun pemikiran manusia selama empat belas abad. Ia juga telah mengubah wajah sejarah manusia dan membangun suatu umat yang lemah menjadi perkasa, menerangi mereka dari jalan sesat ke jalan lurus dan menyatupadukan barisan yang tadinya cerai berai. Dengan karunia Allah dan petunjuk Al Qur'an, terwujudlah kesatuan umat di bawah undang-undang yang menegakkan hukum dan keadilan di muka bumi ini. Ia juga menjadi penuntun bagi umat dan menjadi misi universal sebagai puncak mahkota keagungan peradaban manusia.
Dengan Al Qur'an, Nabi SAW telah membangkitkan taraf pemikiran orang Arab yang tadinya tenggelam dan terpecah belah dalam fanatisme jahiliyah, buta huruf dan hidup dalam budaya berhala yang nista, kearah kehidupan yang gilang gemilang. Beliau menyembuhkan lalu menyatukan mereka dengan Al Qur'an dan perkataan yang penuh hikmah.
Ajaran-ajaran yang tercantum di dalam Al Qur'an dan umat yang telah menerimanya sebagai ajaran kehidupan, ternyata telah mampu mengangkat umat lain, baik yang masih terbelakang maupun yang telah maju peradabannya. Padahal kalau ditilik dari sejarahnya, dahulunya masih banyak yang buta huruf, tidak berilmu dan juga tidak pernah belajar dari bangsa lain.
Cukuplah bukti bahwa mukjizat Al Qur'an telah mampu menyebabkan orang menjadi beriman. Bangsa yang buta huruf telah menjadi bangsa yang berilmu dan mampu memimpin dunia. Bangsa Arab maupun ‘Ajam (non Arab) yang tadinya hidup dalam kegelapan jahiliyah, menjadi bangsa beradab dan berbudaya tinggi. Tidaklah mengherankan bahwa kemajuan umat masa lampau di segala bidang ilmu dan budaya, disebabkan karena Al Qur'an telah menunjukan bermacam ilmu, seperti astronomi, sejarah, syari’at, strategi perang, politik dan lain-lain. Semua itu secara jelas membuktikan bahwa Al Qur'an mutlak kebenarannya sebagai wahyu Allah.
Pengakuan akan kebenaran Al Qur'an juga dicetuskan para cendekiawan barat dari berbagai disiplin ilmu. Sebagian besar dari mreka telah tunduk dan mengakui bahwa Al Qur'an adalah kitab suci (Al Wahyu) yang bersumber dari Allah, apalagi setelah terbukti berbagai penemuan baru pada abad mutakhir kini dan sebelumnya
Imanan Kepada Kitab Samawi Yang Lain 
Mengenai keimanan kepada kitab samawi yang lainnya, maka dalilnya adalah secara naqli. Allah telah memberitahukah kepada kita dalam Al Quran bahwa Dia telah menurunkan Kitab Zabur kepada Nabi Daud as., Kitab Taurat kepada Nabi Musa as., Kitab Injil kepada Nabi Isa as. dan Shuhuf kepada Nabi lbrahim as. Allah berfirman:
“Dan kami berikan Zabur kepada Daud" [QS. Al-lsraa: 55]
“Dan (Allah) menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (Al Quran), sebagai petunjuk bagi manusia” [QS. Ali Imran: 3-4]
“Sesungguhnya ini (Al Quran) benar-benar terdapat dalam kitab-kitab terdahulu, yaitu kitab-kitab lbrahim dan Musa” [QS. Al-A'laa: 18-19].
Sumber: Mafahim BKLDK

Iman Kepada Malaikat

Iman kepada malaikat berdasarkan dalil naqli; sebab akal tidak pernah mampu menjangkau eksistensi/keberadaan malaikat. Dalil syara’ tentang adanya malaikat berasal dari Al Qur’an dan sunah Rasul, diantaranya adalah firman Allah SWT :
”Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah (sungguh-sungguh) kepada Allah dan Rasul-Nya dan (kepada) kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (ketahuilah bahwa) siapa saja kafir terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” [QS. An-Nisa’: 136]
Malaikat dan Asal Usul Kejadiannya 
Malaikat diciptakan Allah sebelum jin, manusia dan alam semesta. Adapun asal kejadian mereka, sesungguhnya Al Qur’an tidak merincikannya. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa malaikat itu dijadikan dari cahaya (nur), tanpa menerangkan bagaimana karakteristik (bentuk) cahaya (nur) tersebut. Oleh karena itu, dzat malaikat yang sebenarnya tidak mungkin dapat dijangkau akal, karena ia berada di luar jangkauan panca indera dan akal manusia. Tetapi wujudnya pasti, yang menurut penjelasan Al Qur’an, mereka berada di langit dan di bumi dan saling berpindah tempat di antara keduanya.
Tugas-Tugas Malaikat
Al Qur’an dan sunnah Rasul telah menunjukan berbagai tugas malaikat yang bekerja menurut perintah dan seizin Allah untuk mengatur apa yang ada di langit dan bumi serta apa yang ada dan terjadi di antara keduanya. Misalnya, ada yang ditugaskan untuk mengatur peredaran matahari, bulan dan bintang, mengatur peredaran awan dan turunnya hujan, mengatur terjadinya proses pembentukan janin di dalam rahim. Ada pula yang ditugaskan untuk menjaga dan mengawasi setiap manusia, menghitung dan menulis amal usaha manusia. Selain itu, ada pula yang ditugaskan untuk mencabut nyawa, bertugas di jahannam dan jannah, dan tugas-tugas lainnya. Jadi, para malaikat adalah tentara Allah yang paling banyak dari segi kuantitas dan paling banyak dari segi tugas-tugasnya. Inilah tentara yang paling agung. Sebab merekalah yang mengatur alam semesta dengan izin Allah. 

Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah 
Tentang tugas-tugas malaikat, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan: 
“Allah telah mewakilkan para malaikat untuk mengatur langit dan bumi. Mereka (para malaikat itu) bekerja dengan seizin dan atas perintah Allah SWT. Oleh karena itu, Allah SWT di dalam Al Qur’an kadang menyebutkan bahwa pengaturan tersebut diserahkan kepada malaikat, seperti firman-Nya :
“Demi para malaikat yang mengatur urusan alam” [QS. An Nazi’aat: 5]
Atau terkadang tugas-tugas pengaturan seperti itu dikaitkan (bersangkut langsung) terhadap Allah, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian Itulah Allah, Tuhan kamu, Maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran? [QS. Yunus: 3]
Juga perhatikan firman-Nya yang lain:
“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab ‘Allah’. Maka katakanlah: ‘Mengapa kalian tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” [QS Yunus: 31]
Jadi Allah-lah pengatur alam ini dengan perintah (izin) dan kehendak-Nya, sedangkan malaikat mengatur alam ini hanya menjalankan atau melaksanakan perintah saja. Perhatikan firman Allah SWT:
“Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga Sehingga bila datang kematian pada salah seorang diantaramu, lalu utusan-utusan Kami mewafatkannya, sedangkan para utusan (malaikat Kami) itu tidak (pernah) lengah.” [QS. Al An’aam: 61]

Ibnu Qayyim lebih lanjut menjelaskan:
“Sesungguhnya para malaikat yang bertugas dengan izin Allah untuk mengatur urusan manusia sejak terjadinya proses pembuahan di dalam kandungan, sampai matinya manusia. Merekalah yang ditugaskan untuk memproses dan mengembangkannya tahap demi tahap sampai kepada bentuk manusia yang sempurna. Mereka jugalah yang menjaga ketika janin itu masih berada dalam tiga lapisan (chorion, alantion, dan amnion) di dalam kandungan. Mereka yang mencatat rezekinya, amal, ajal, sengsara, bahagia dan mengikuti manusia dalam setiap keadaan, serta mencatat perkataan dan pebuatannya. Mereka melindunginya sewaktu manusia hidup dan mencabut nyawanya serta menghantarkan nyawa itu kembali kepada Allah yang menciptakannya.
Kitabullah dan sunnah menyebutkan jenis malaikat yang ditugaskan mengatur urusan makhluk-makhluk yang diciptakan. Allah telah menugaskan sebagian malaikat-Nya untuk membawa awan dan menurunkan hujan. Jadi malaikat adalah tentara Allah yang paling agung.
Beliau menyebutkan ayat-ayat Al Qur’an mengenai hal ini (baca QS Al-Mursalat: 1-5; An-Nazi’at: 1-5; Ash-Shaffat: 1-3). 
Tingkatan, Tugas dan Wewenang diantara Malaikat 
Mengenai tingkatan tugas dan wewenangnya, Al Qur’an menyebutkannya sebagai berikut:
Malaikat Jibril adalah pimpinan umum dan sangat terkemuka diantara para malaikat. Dialah utusan Allah bagi seluruh nabi dan rasul untuk menyampaikan wahyu dan petunjuk lainnya. Ia sangat perkasa, punya kekuatan yang luar biasa seperti mengarungi angkasa yang maha luas hingga “Sidratul Muntaha” (berada di langit ke tujuh) sampai kembali ke bumi ketika memimpin dan menuntun perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Ia dipatuhi oleh bawahannya, pemimpin yang bijaksana dan sangat dipercaya Allah SWT. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah:
 “Sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah, pemilik ‘Arsy, yang ditaati di sana (alam malaikat) lagi dipercaya” [QS At-Takwir: 19-21] 
Malaikat yang diserahi tugas mengatur pembagian rezeki semua makhluk di seluruh alam adalah Malaikat Mikail; seperti diterangkan dalam sebuah hadits riwayat Thabarani dan Baihaqi dengan sanad yang hasan:
“Ketika Rasulullah bertanya kepada Jibril, apa tugas malaikat Mikail? Jibril menjawab: (Ia ditugaskan untuk mengatur) tumbuh-tumbuhan dan hujan.”
Malaikat Israfil ditugaskan meniup sangkakala (ashshur). Ia senantiasa meletakkan mulutnya pada tempat peniupan sangkakala, sebagai tindakan berjaga-jaga jika mendadak ada perintah dari Allah. Beginilah contoh kepatuhan para malaikat kepada Allah. Entah berapa juta tahun keadaan seperti demikian, namun Ia tetap setia kepada tugasnya. Peniupan sangkakala itu dilakukan dua kali, seperti yang diceritakan dalam ayat Al Qur’an:
“(Dan) ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa saja yang berada di langit dan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” [QS Az-Zumar: 68] 

Malaikat yang bertugas mencabut nyawa (roh) makhluk hidup (bila telah tiba ajalnya) adalah Izrail; seperti ditegaskan Al Qur’an:
“Katakanlah: Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu. Maka hanya kepada Rabbmu kamu pasti dikembalikan.” [QS As- Sajadah: 11] 

Keterangan-keterangan lain didapat dari Al Qur’an dan sunah, antara lain:
“(Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya (Raqib-Atid), seorang duduk di kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” [QS Qaaf: 17-18]
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api jahanam yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (berhala); penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [QS At-Tahrim: 6]
Iman kepada malaikat, meskipun berdasarkan kepada dalil naqli, namun pada hakekatnya, keberadaannya wajib diyakini karena penukilannya bersumber dari sesuatu yang secara akal sudah dipastikan kebenarannya, yakni Al Qur’an dan As Sunnah. Dengan keimanan yang utuh terhadap malaikat, seorang Muslim akan berhati-hati dalam berbuat, karena ia yakin sang malaikat akan senantiasa mencatat amal baik dan buruknya. Selain itu, iapun akan lebih berani dan optimis dalam mengarungi kehidupan, khususnya dalam mengemban dakwah, karena ia yakin selalu “dikawal” oleh tentara Allah yang perkasa, yakni para malaikat.
 Sumber: Mafahim BKLDK

Iman Kepada Allah

 Di dalam sebuah hadits yang panjang, Jibril as. Pernah bertanya kepada Rasulullah saw.: "Beritahukahlah kepadaku tentang iman.” Lalu Rasul saw. menjawab: ‘Iman itu adalah percaya kepada adanya Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasulrasul-Nya, hari kiamat, dan percaya kepada al qadar (takdir), baik dan buruknya berasal dari Allah.’ Jibril berkata: ‘Kamu benar.’ (HR. Muslim, Tirmidziy, Abu Dawud, dan an Nasaa-iy). 
 Dengan Al Quran, Allah telah membimbing manusia kepada jalan yang dapat membuat manusia memahami atau menyadari keberadaan Allah. Allah telah menyeru manusia dengan firman-Nya:
"Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa yang dia ciptakan” [QS. Ath-Thaariq: 5]
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit dia ditinggikan, dan gunung bagaimana dia ditegakkan” [QS. Al-Ghaasyiah: 17-19]
 Dan Allah memerintahkan Rasulullah Saw. agar Beliau mengajak manusia memperhatikan hal itu dengan Firman-Nya:
"Maka berikanlah peringatan karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan” [QS. Al- Ghaasiyah: 21]
Beliau diminta untuk mendorong manusia agar melakukan perjalanan keliling dan memperhatikan apa yang ada di sekitarnya dengan firman Allah:
"Katakanlah: ‘Berjalan di (muka) bumi dan perhatikan bagaimana Allah menciptakan manusia dari permulaannya” [QS. Al-Ankabuut: 20]
Dengan jalan melihat dan memperhatikan seperti itu dengan menggunakan akalnya, maka manusia akan sampai kepada kesimpulan akan adanya bahwa terdapat pencipta bagi segala sesuatu. Hal ini disebabkan oleh karena sesungguhnya manusia tatkala melihat alam semesta, maka ia dapat melihat betapa alam semesta itu penuh keterbatasan (al mahduud) dan penuh keteraturan (al munazhzham) dalam bentuk yang apik. Sedangkan sesuatu yang mahduud dan munazhzham membutuhkan pihak yang membatasi dan mengatumya. Hal itu berarti bahwa ia merupakan makhluuq (ciptaan) dari Al Kholiq (Pencipta).
Demikian pula manusia dan kehidupan, maka ia akan mendapati bahwa keduanya memiliki keterbatasan pula. Manusia—sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya menurut jangkauan panca indra—kenyataannya bersifat terbatas, lemah dan butuh kepada yang lain. Umur dan ukuran tubuh manusia saja misalnya. ltupun terbukti terbatas. Manusia, di dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka ia membutuhkan kepada sesuatu yang lain (seperti makanan, air, dan udara). Dengan demikian, maka manusia juga merupakan mahluk dari Al Kholiq (Pencipta).
Dalam menentukan sifat Al Kholiq (Pencipta) ini hanya ada tiga kemungkinan. 
a. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Dengan pemikiran aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa kemungkinan ini adalah kemungkinan yang bathil (tidak dapat diterima oleh akal). Sebab apabila Ia diciptakan oleh yang lain maka Ia adalah makhluk dan bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya.
b. Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Kemungkinan kedua ini pun bathil juga. Karena dengan demikian ia akan menjadi makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Jelas ini tidak dapat diterima oleh akal.
c. Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud dan mutlak keberadaannya. Setelah dua kemungkinan di atas dinyatakan bathil, maka hanya tinggal satu kemungkinan lagi dan hanya kemungkinan yang ketiga-lah yang shohih, yakni Al Kholiq itu tidak boleh tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT.
“Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” [QS. Thaahaa: 14]
Iman kepada Allah akan tercapai melalui jalan akal. Sedangkan keimanan kepada sifat-sifat Allah dan asmaa-ul husna dapat dicapai melalui jalan naqli, yaitu wahyu Allah. Sifat-sifat Allah dan asmaa-ul. husna itu telah dijelaskan dalam Al Quran. Firman Allah: 
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Penguasa, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Maha Pemberi Keamanan, Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, yang memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai nama-nama yang paling baik (asmaa ul husna). Bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (TQS. Al-Hasyr: 23-24).
Sumber: Mafahim BKLDK 

Jalan Menuju Keimanan

Ketika manusia sudah mencapai baligh (dewasa) yang salah ditandai salah satunya dengan kesempurnaan akalnya, maka semenjak itu dia berfikir tentang eksistensi dirinya di dunia ini. Manusia pada saat itu – disadarinya ataupun tidak – dihadapkan pada beberapa pertanyaan mendasar. Pertanyaan-pertanyaan mendasar itu sering disebut juga dengan uqdatul kubra (masalah/simpul yang besar) adalah: 1) Dari mana manusia berasal? 2) Untuk apa manusia ada? 3) Akan kemana manusia setelah kehidupan ini?
Bila pertanyaan ini terjawab maka manusia akan memiliki landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya, – terlepas dari jawabannya benar atau salah. Selanjutnya ia berjalan di dunia ini dengan ‘landasan’ tersebut, berekonomi dan berbudaya berdasar ‘landasan’ itu, bahkan ia akan mengajak orang dan kaum lain agar mengikuti ‘landasan’ tersebut.
Seseorang atau suatu kaum yang menyelesaikan uqdatul kubra dengan jawaban ”kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah/ materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi/benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup”, maka mereka akan hidup dengan aturan yang dibuatnya sendiri, dengan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan berbudaya, berekonomi dan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan material, selama mereka mampu hidup. Orang dan kaum seperti ini tidak meyakini adanya hal ghaib (ruh, akhirat, pahala-dosa dsb). Mereka percaya segalanya materi belaka. 
Sementara itu seseorang atau suatu kaum yang menjawab “dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia”, maka mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Penciptanya. Standar baik-buruk berdasarkan aturan Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi standar amal yang harus ia pertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pencipta. Demikian gambaran ringkas tentang ‘landasan kehidupan’ seseorang/suatu kaum, yang sekaligus merupakan jawaban ‘uqdatul kubro’ manusia. Tetapi bagaimana jawaban yang benar terhadap masalah ini? 
Dengan berbagai upaya, manusia mencoba mencari jawaban tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau akalnya. Karena segala hal yang dapat dijangkau akal manusia, tidak lepas dari (1) alam semesta (al kaun), (2) manusia (al insan) dan (3) kehidupan (al hayaah), maka ketiga hal inilah yang dijadikan obyek/media berpikir untuk mencari jawaban yang dimaksud.
Pemecahan yang benar terhadap masalah ini tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Islam telah memberi jawaban melalui proses berpikir yang jernih, menyeluruh, benar, sesuai dengan akal, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia. 
Berkaitan dengan proses berpikir, ada empat komponen yang menjadi syarat terjadinya proses berpikir tersebut. Empat komponen itu adalah: otak (dimag) yang sehat, realita yang terindra (al-Waqi’ al-Mahsusah), alat indra (al-hawas) dan informasi-informasi sebelumnya (al-Maklumat as-Saabiqah). 
Berikut ini dijelaskan komponen-komponen yang berkaitan dengan proses berpikir tersebut.
a. Otak yang sehat
 Otak adalah materi yang ada dalam tempurung kepala. Materi ini diliputi oleh tiga lapisan dimana dari celah-celanya sel-sel menembus keluar bertemu dengan segenap indra dan seluruh wilayah tubuh. Serabut sel saraf dalam penyebaran dan penjangnya mencapai batas-batas yang nyaris tidak terhitung. Pada kenyataannya sel-sel pembawa darah yang trebagi-bagi pada seluruh wilayah tubuh panjangnya bisa mencapai kurang lebih 100.000 mil. Dan otak ini bisa mengontrol tubuh dengan 76 sel utama.
 Berat otak manusia dewasa bia mencapai 1200 gram. Otak ini mampu menghabiskan 25% oksigen yang tersedia melalui paru-paru dengan pengukuran arus listrik pada otak, para ilmuwan telah menetapkan bahwa otak ini organ berpikir (tafkir) pada manusia. Maka hasil penelitian sebagian sel-sel otak dengan pengukuran arus listrik, telah ditemukan arus listrik yang tredeteksi diatas kertas ketika manusia memusatkan pikirannya, atau ketika emosi bergejolak, atau ketika mendengar kegaduhan, atau ketika mengahadapi perhitungan yang komplek dan rumit. Akan tetapi para ilmuwan tidak mengerti daerah mana pada otak yang mampu menghapal informasi yang masuk. Kenyataannya bahwa memusnahkan setengah otak sebagian para pasien tidak mampu menghilangkan daya ingat mereka. Memang ada sebagian ilmuwan yang memprediksikan bahwa infromasi-informasi sebelumnya pada ingatan semuanya menyamai tempat yang memuat 90 juta jilid yang penuh dengan informasi-informasi. 
b. Realita yang terindra
 Adapun realita yang terdeteksi oleh indra, terkadang merupakan realita materi seperti bulan, buku dan kuda, terkadang merupakan pengaruh dari realita materi seperti suara angin, suara pesawat, dan bau bunga mawar. Atau terkadang berupa non-materi yang dapat dimengerti dari pengaruhnya seperti keberanian, kesatriaan, ketakutan dan kelemahlembutan.
 Segala sesuatu yang eksistensinya bisa dimengerti ini terkadang bisa dirasa dan disentuh seperti gunung, pohon, dan keledai. Terkadang bisa dirasa, tetapi tida bisa disentuh seperti rasa sakit dan senang. Atau terkadang tidak bisa dirasa tidak pula bisa disentuh, maka eksistensinya bisa ditenukan dari penampakan-penampakannya seperti naluri seksual, naluri mempertahankan diri dan naluri beragama.
c. Indera 
 Penginderaan terhadap realita ini kemudian berpindah ke otak melalui panca indera atau sebagian indera, misalnya indera penglihatan beserta perangkatnya yaitu mata, indera pendengaran beserta perangkatnya adalah telinga, indera peraba dengan perangkatnya adalah kulit, indera perasa dengan perangkatnya adalah lidah, dan indera penciuman dengan perangkatnya adalah hidung.
 Cara mengindera dengan mata ini bisa sempurna (optimal) dengan cara berikut: cahaya yang terefleksi dari materi diterima oleh kornea mata ini sampai ke retina, lalu retina ini menyampaikannya ke sel penglihatan yang berbentuk arus listrik sehingga cahaya tersebut sampai ke pusat penglihatan yaitu di otak belakang. Pada saat itulah manusia bisa melihat gambar yang ada di depannya, tetapi tidak dapat memikirkannya, maksudnya tidak dapat menghukuminya kecuali dengan merujuk pada informasi-informasi yang tersimpan sebelumnya pada otak tentang apa yang dilihatnya. Penglihatan ini terbatas, ia mempunyai jarak pandang yang tidak dapat dilampauinya. Maka manusia tidak akan mampu melihat dengan mata telanjang banyak tubuh-tubuh seperti bakteri, virus, atom, dan bintang-bintang yang sangat jauh. Padahal sesuatu yang tidak bisa kita lihat lebih banyak dari yang kita lihat. Allah Swt. berfirman :
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat.Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.” [QS. Al Haaqqah: 38-40]
 
 Indera pendengaran adalah salah satu indera yang penting, karena melalui indera ini manusia memperoleh ilmu. Allah telah menyebutkan dalam ayat-ayat-Nya tentang indera pendengaran ini dengan penyebutan lebih dahulu daripada indera penglihatan, firman-Nya:
“Atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan" [QS. Yunus: 31].
“Dan Dia telah menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan... “ [QS. An-Nahl: 78].
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawaban.” [QS. Al-Isra: 36].
Indera pendengaran adalah telinga. Telinga ini menerima gelombang suara lalu disampaikan oleh sel pendengaran ke otak. Telinga manusia mampu menangkap suara-suara yang frekuensinya antara 16.000-20.000 getaran perdetik (Hertz, Hz). Sedangkan suara-suara yang getarannya lebih dari itu telinga manusia tidak mampu memindahkannya ke otak. Sedangkan telinga kucing itu bisa memindahkan suara yang getarannya mencapai 50.000 getaran perdetik, dan telinga kelelawar bisa memindahkan suara yang getarannya mencapai 120.000 getaran perdetik dan telinga kelelawar ini bisa mengganti penglihatan dalam mengontrol dalam segala sesuatu. Sedangkan manusia hanya bisa mendengar sebagian kecil suara-suara yang ada di sekitarnya.
 Indera peraba menggunakan sel-sel perasa yang banyak dan tersebar pada seluruh tubuh terutama pada kulit. Allah swt menyinggung mengenai kulit ini dalam firmanNya:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka ke dalam neraka. setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. An Nisaa’: 56]
Setiap kulit orang kafir itu hangus terbakar api neraka, maka Allah akan menggantikan dengan kulit yang lain supaya saraf-saraf indera yang ada pada kulit bisa memindahkan kepada mereka dengan merasakan sakitnya terbakar. Sedangkan hidung dan mulut atau lidah keduanya memindahkan perasa bau dan pengecap dengan jalan reaksi kimia melalui sel-sel penciuman dan sel-sel perasa kepada otak.
 
d. Informasi-informasi terdahulu
 Unsur keempat dari unsur-unsur akal, yaitu informasi-informasi terdahulu. Informasi-informasi terdahulu adalah pemikiran-pemikiran masa lampau tentang realita yang tersimpan dan terjaga di otak. Otak menyimpan informasi-informasi masa lalu itu untuk sewaktu-waktu dibutuhkan dalam akitivitas pemikiran. Informasi-informasi ini terdiri dari dua bagian: Bagian Pertama adalah pemikiran, pemikiran masa lalu tentang realita-realita terindera. Bagian ini dibutuhkan untuk menghukumi realita yang bertalian dengan informasi-informasi ini. Bagian kedua dari informasi-informasi terdahulu adalah informasi-informasi sebagai hasil dari respon otak karena penginderaan terdahulu yang bertalian dengan realita terindera. Respon ini diperoleh karena berulang-uangnya penginderaan terhadap realita yang mempunyai pertalian dengan pemenuhan naluri-naluri dan kebutuhan jasmani secara langsung. Pada umumnya yang membentuk informasi-informasi terhadap realita ini, dilihat apakah bisa memenuhi atau tidak. Dan informasi-informasi semacam ini tidak layak dipergunakan untk memberikan status hukum terhadap realita. Informasi-informasi realita terdahulu adalah bagian yang sangat penting untuk aktivitas berfikir. Tanpa informasi-infromasi ini pemahaman terhadap realita tidak dapat terjadi. 

Manusia ketika ia mendengar, melihat, mencium, membau, atau meraba realita, maka penginderaan terhjadapa realita tersebut berpindah ke otak dengan perangkat sel-sel perasa, dan penginderaan tentang realita itu datang darinya. Kalau pada otak telah terdapat informasi-informasi terdahulu tentang suatu realita, maka otak mengkaitkan informasi-informasi itu dengan realita yang terindera untuk menafsirinya kemudian menghukuminya. 
Maka seandainya kita menyodorkan kata-kata yang ditulis dalam bahasa inggris kepada seseorang yang telah memiliki informasi terdahulu tentang bahasa tersebut, kemudian ia melihat tulisan itu, lalu penginderaan berpindah ke otak dan ketika itu informasi-informasi terdahulu tentang bahasa inggris bekerjasama untuk mengetahui realita tersebut. Lalu orang itu segera berusaha membaca dan memahahaminya. Akan tetapi kalau saja realita ini, yaitu kata-kata berbahasa inggris disodorkan kepada orang lain yang tidak memiliki informasi-informasi terdahulu tentang bahasa inggris dan kemudian ia mengindera kata-kata itu dengan penglihatannya, maka ia tidak akan bisa membacanya apalagi memahaminya, karena ia tidak mempunyai informasi-informasi yang diperlukan untuk menafsiri realita ini sekaligus menghukuminya. Dan ketika ia mengulang-ulang penginderaannya terhadap suatu realita, maka hanya menjadi penginderaan saja, dan tidak menghasilkan pemikiran.
Pemikiran itu terkadang dengan adanya realita yang terindera dan terkadang dengan menggambarkan realita di dalam pikiran walaupun realita itu tidak ada. Terkadang manusia berpikir tentang laki-laki yang pernah dilihat beberapa tahun yang lalu, ketika ia membaca berita kematiannya pada surat kabar, lalu ia menghadikan gambarnya di dalam otaknya dan informasi-infromasi terdahulu tentangnya, kemudian manusia itu berkata kepada orang lain, “Sungguh laki-laki itu orang mulia”, dengan mengeluarkan hukum atas laki-laki itu walaupun ketika itu tidak ada penginderaan terhadapnya atau kemuliaannya. 
Mengindera suatu realita terkadang bisa dengan terjadinya penginderaan terhadap realita itu sendiri dengan indera penglihatan atau indera yang lain. Terkadang dengan terjadinya penginderaan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan realita itu seperti suara atau gambar, dan terkadang dengan respon penginderaan tentang realita ke dalam otak tanpa adanya realitas itu atau bekasnya di dalam jangkauan panca indera. Hal ini adalah sesuatu yang seringkali terjadi dalam pemikiran politik (tafkir siyasi). Pakar politik itu dengan perantara kumpulan berita ia mampu menggambarkan realita dan mengeluarkan analisis politik untuk menghubungi situasi yang tidak terjadi pada daerah atau jangkauan inderanya secara langsung. 

Kembali pada pembahasan tentang jalan menuju keimanan. Melalui proses berpikir yang didahului dengan penginderaan terhadap realita tentang alam semesta (al kaun), manusia (al insan) dan kehidupan (al hayaah), yang kemudian dikaitkan dengan informasi terdahulu yang dimilikinnya, manusia akan sampai pada jawaban tentang uqdatul kubro yang ada di dalam benaknya. Ada 3 (tiga) alternatif jawaban dari uqdatul kubro tersebut. Dan dari salah satu jawaban uqdatul kubro inilah, manusia akan menjalani kehidupannya di dunia.
Alternatif jawaban yang pertama, ”kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah/ materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi/benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup”. Dari jawaban ini kemudian muncul ide tentang komunisme atau atheisme. Sementara itu, alternatif jawaban yang kedua, yaitu “dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, dan semuanya akan kembali kepada Sang Pencipta tersebut, namun Sang Pencipta tidak campur tangan terhadap kehidupan di dunia ini sehingga manusia berhak mengatur kehidupannya sendiri.” Jawaban ini menjadi dasar dari ide sekulerisme atau pemisahan agama dengan kehidupan di dunia.
Alternatif jawaban yang terakhir yaitu “dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia”. Jawaban inilah yang diajarkan oleh Islam kepada manusia dalam memecahkan uqdatul kubro.
Sumber: Mafahim BKLDK