Selasa, 30 Juni 2009

Iman Kepada Taqdir

 
Iman kepada taqdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap muslim. Sebab, hal ini memiliki sandaran nash-nash Al Qur'an yang pasti (qoth’i) serta dijelaskan oleh Rosulullah SAW dalam sunahnya. Berbeda dengan iman kepada ‘Qadha dan Qadar’, ia bukan lahir dari nash-nash syara’ secara langsung. Istilah Qadha dan Qadar, --sebagai istilah tertentu yang bermakna tertentu pula--, tidak didapatkan dalam Al Qur'an maupun As Sunnah. Jika kita kaji dari buku-buku hadits, kita tidak akan menemukan masalah ini (qodha dan qadar). Kita hanya menemukan pembahasan taqdir (atau al qadar yang bermakna taqdir). Misalnya dalam Shahih Bukhari hadits no. 6594-6620 dan Shahih Muslim no. 2634-2664; yang merupakan bab khusus tentang masalah taqdir. Di dalam Al Qur'an sendiri tidak ada istilah ‘qadha dan qadar’ yang digabungkan. Keduanya hanya ditemukan secara terpisah (lihat indeks Al Qur'an, Muh. Fuad Abdul Baqi, hal. 536-537 tentang al qadar, dan hal 546-547 tentang qadha).
Tidak adanya istilah qadha dan qadar (yang digabungkan, dan memiliki makna tertentu) tersebut, karena memang masalah ini baru muncul pada masa tabi’in (setelah masa shahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah (awal abad kedua Hijriyah). 

Taqdir dan Pengertian Iman Terhadapnya
Seorang muslim beriman dan yakin bahwa semua keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (karena memang Allah Maha Mengetahui sesuatu (Al-‘Aliim)), baik kejadian yang telah terjadi, sedang maupun yang akan terjadi. Kejadian apapun bentuknya telah diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di Lauhul Mahfuz (kitab induk dan gambaran umum luasnya ilmu Allah SWT).
Inilah pengertian sederhana dari taqdir yang telah dijelaskan oleh Al Qur'an dan hadits Rosulullah SAW. Dengan kata lain taqdir adalah catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh tentang segala sesuatu. Yang dimaksud dengan ‘segala sesuatu’ yakni termasuk benda-benda, manusia, amal perbuatannya, makhluk hidup lain, dan lain-lain; semuanya telah tercatat/diketahui oleh Allah SWT dan dituliskannya di Lauhul Mahfuzh.
Setiap muslim wajib beriman kepada taqdir karena merupakan bagian dari rukun iman. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab, ketika itu Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan bertanya:
“Coba ceritakan apa iman itu? Lalu Rosulullah menjawab : Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-nya, hari kiamat dan percaya kepada taqdir baik dan buruknya berasal dari Allah SWT.” (HR Muslim) 
Seorang yang tidak percaya kepada taqdir, maka imannya cacat bahkan dapat mengeluarkan dirinya dari Islam, karena masalah ini telah tegas dijelaskan oleh nash-nash Al Qur'an dan hadits Rosulullah SAW, seperti ayat:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut taqdirnya/ukurannya.” (QS Al Qamar: 49) 
Dalam menafsirkan ayat ini Imam Asy-Syuyuti menyatakan:
“Kepercayaan yang dipegang oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah bahwa Allah SWT telah mentaqdirkan segala sesuatu. Artinya Dia telah mengetahui ukuran, kondisi, peraturan, dan waktunya, jauh sebelum sesuatu itu terjadi. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu kejadian di langit dan bumi kecuali seluruhnya muncul dari ilmu, qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah SWT.” (lihat Tafsir Imam Qurthubi juz XVII hal. 148) 
Makna dari semua ini adalah Allah SWT telah mengetahui segala sesuatu tentang manusia sebelum ia diciptakan. Dia juga mengetahui ketetapan nasib seseorang di dunia ini maupun di akhirat kelak (bahagia atau celaka, sukses atau gagal, kaya atau miskin, umurnya, dsb).
Pahamilah, pembahasan masalah taqdir sebenarnya hanyalah pembahasan tentang kekuasaan Allah SWT. Taqdir merupakan Ilmu Allah dan kekhususan bagi-Nya (ilmu Allah mencakup segala sesuatu karena ia memang bersifat Al-‘Aliim) dan mustahil ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya.
Hadits berikut ini menunjukan wajibnya iman kepada taqdir dan larangan mengingkarinya:
“Bagi setiap umat akan muncul segolongan manusia yang berperilaku seperti majusi. Orang-orang majusi mengatakan bahwa tidak ada taqdir. Jika diantara mereka ada yang meninggal, maka janganlah kalian menghadiri jenazahnya. Jika mereka sakit, janganlah dijenguk, (sebab) mereka adalah (sama dengan) golongan dajjal. Memang pantas ketentuan tersebut, yaitu menghubungkan perilaku mereka yang mirip dengan dajjal, adalah ketentuan yang haq (benar) dari Allah SWT.” (HR. Abu Dawud dari Hudzaifah, lihat Sunan Abu Dawud, juz IV hal. 222) 
Meskipun kita beriman kepada taqdir (ilmu) Allah SWT, tetapi janganlah mencampur-adukan antara “iman kepada taqdir” tersebut dengan “amal perbuatan manusia”, karena keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Artinya, ilmu Allah (taqdir) tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu dan juga tidak pernah memaksa seseorang untuk tidak berbuat sesuatu.
Rosulullah SAW telah melarang para shahabatnya mencampur-adukan pemahaman taqdir dengan amal perbuatan manusia yang dapat menyebabkan manusia tidak mau berusaha. Harus dipahami bahwa ada perbedaan antar : Apa-apa yang harus diyakini dengan apa-apa yang harus dikerjakan !
Telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ali bin Abi Thalib ra. yang artinya:
“Rosulullah SAW suatu hari duduk-duduk (bersama para shahabat). Di tangan beliau ada sepotong kayu, lalu dengan kayu tersebut beliau menggores-gores (tanah). Lalu nabi mengangkat kepala dan berkata : “Setiap kalian yang bernyawa sudah ditetapkan tempatnya di jannah (surga) dan jahannam”. Para shahabat terkejut lalu bertanya : “Kalau demikian ya Rosulullah apa gunanya kita beramal? Apakah tidak lebih baik kita bertawakal saja (kepada taqdir)? Beliau menjawab : “Jangan! Tetaplah beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh Allah jalan yang sudah ditentukan baginya.” Lalu Rosulullah membaca surat Al Lail ayat 5-10”. (Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz XVI, hal. 196-197) 
Sesungguhnya Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dengan bekal akal, kekuatan, persiapan tenaga dan ilmu agar ia mampu membedakan mana yang salah dan mana yang benar sebagai standar perbuatannya. Dengan demikian maka secara suka rela manusia akan memilih (tanpa adanya unsur paksaan) suatu kehendaknya sendiri. Karena sesungguhnya taqdir hanyalah pemberitahuan tentang ilmu Allah yang sangat luas, meliputi segala sesuatu dan ilmu Allah tersebut tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. (lihat Imam Al Khattabi dalam Aqidah Islam. Sayyid Sabiq, hal. 151) 
Tak ada seorang manusia pun yang tahu apa yang tertulis bagi dirinya di Lauhul Mahfuzh. Karenanya tidak bisa dibenarkan jika ada seseorang yang berkata : “Saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh Allah SWT di Lauhul Mahfuzh harus berbuat begini”. Karena, darimana ia tahu bahwa Allah telah menuliskan perbuatan tersebut baginya di Lauhul Mahfuzh?
Sesungguhnya beriman kepada taqdir dalam pemahaman yang benar, pasti akan memberikan suatu kekuatan semangat juang yang luar biasa. Pemahaman yang utuh akan memberikan dorongan yang positif untuk meraih kehidupan bahagia yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam garisan syari’at Islam. Selain itu, hal tersebut juga akan memberikan ketabahan dan keberanian dalam membela yang haq, berhati baja dalam merealisasikan hal-hal yang haq serta menetapi segala kewajiban yang dibebankan kepadanya. Tidak ada istilah lemah atau putus asa dalam kamus orang yang beriman kepada taqdir dengan pemahaman yang benar. Ia akan menjadi orang yang bersyukur ketika langkah-langkahnya memberikan keberhasilan/kebaikan dan ia akan menjadi orang yang sabar ketika langkah-langkahnya tidak memberikan keberhasilan.

Asal Mula Munculnya Istilah ‘Qadha dan Qadar’
Akhir abad kedua merupakan masa suburnya penaklukan daerah lain, yang dilakukan oleh Khilafah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia. Banyak hal baru mulai ditemukan, termasuk usaha-usaha menerjemahkan faham-faham di luar Islam semisal filsafat (Yunani). Pada awalnya hanya semacam kebutuhan untuk menjawab dan berdebat dengan mereka setelah dari pihak Nasrani terlebih dahulu mempelajarinya untuk mempertahankan aqidah mereka. Kaum Muslimin tergerak untuk mendalami filsafat Yunani untuk membantah masalah-masalah yang dilontarkan pihak Nashrani, terutama dalam bidang “kebebasan bertindak” (free will). Permasalahan ini terus berkembang dan akhirnya munculah beberapa aliran/pandangan di kalangan kaum muslimin sendiri terhadap permasalahan ini.

1. Faham Qadariyah (Muktazilah)
Ketika Islam telah menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia, kemunculan berbagai faham di dalam ajaran Islam sulit untuk dihindari. Karenanya kemunculan segolongan dari kaum Muslimin yang berpendapat bahwa manusia itu bebas berkehendak atau terlepas dari taqdir Allah SWT adalah salah satu akibat persinggungan Islam dengan budaya setempat. Golongan ini mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak, artinya manusia memiliki kemampuan (qadar) untuk berusaha sendiri. Itulah sebabnya akhirnya golongan ini disebut dengan “Qadariyah”. Mereka menolak pengaturan untuk segala sesuatunya sesuai dengan taqdir (Al-Qadar) maupun dalam ketetapan Allah. Faham ini pertama kali dikembangkan oleh Washil bin Atha’.
Secara garis besar, Muktazilah berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak (iradlah), kekuatan, kekuasaan (qudrat, power) dan kebebasan (huriyyah, freedom) untuk berbuat atau tidak berbuat serta terlepas dari kehendak, kekuasaan dan taqdir Allah. Karena itu, menurut faham ini, wajar dan adil apabila manusia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Golongan ini memandang bahwa manusia sesungguhnya menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiar dan qudratnya sendiri sementara iradlat dan qudrat Allah tidak turut campur dalam perbuatan manusia.
Inilah faham indeterminasi (Qadariyah) dari filsafat Yunani yang merasuk ke pemikiran dunia Islam yang menyebabkan banyaknya orang yang terselewengkan, hanyut oleh pikiran melayang yang akhirnya jatuh ke jurang kesesatan, bahkan pemikiran ini telah mengganggu persatuan umat.
Untuk mendukung pendapat mereka, Muktazilah gemar menakwilkan ayat-ayat Al Qur'an. Ayat-ayat Al Qur'an yang sering dikutip adalah ayat-ayat yang menunjukan bahwa manusia mendapat balasan atas perbuatannya misalnya:
“(Dan) Katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabb-Mu. Maka, siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir...” (QS Al-Kahfi: 29) 
Dalam perkembangannya, faham ini telah dirangkul erat-erat oleh ahli pikir Barat yang ingin menyesatkan kaum Muslimin dengan cara melepaskan mereka dari imannya. Padahal Islam telah memulai risalahnya dengan penanaman iman dan beriman kepada enam rukun iman yang dimulai dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah ikatan yang mengekang manusia dalam menggunakan akalnya, yaitu segala sesuatu telah diberikan batas, dari garis halal dan haramnya.
Muktazilah adalah golongan yang bergerak dalam tiga fungsi: agama-filsafat-politik. Nama lain Muktazilah adalah Qadariyah, Adliyah, atau “Ahlul Adli wat Tauhid” (penganut faham keadilan dan keesaan Allah).

2. Faham Jabariyah 
Faham ini sangat bertolak belakang dengan faham sebelumnya. Mengenai kemunculannya, ada yang berpendapat bahwa faham jabariyah muncul sebelum adanya Muktazilah. Orang pertama yang memelopori faham “Jabariyah” adalah Jahmu bin Sofyan. Ia berkata bahwa manusia itu tidak memiliki kekuasaan untuk memilih. Ia harus pasrah. Ia tidak mengerjakan sesuatu selain apa yang telah ditentukan, dan bahwa Allah telah menakdirkan amal perbuatan manusia yang harus dikerjakan sebagaimana Allah telah menciptakan benda-benda. Ia tidak ubahnya seperti air yang mengalir, angin yang berhembus, batu yang jatuh (tertarik gaya grafitasi). Manusia melakukan sesuatu apapun sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah (ia hanya berfungsi sebagai alat, tidak lebih dari itu). Oleh karena itu, pahala, siksa dan amal perbuatan tidak lain adalah hasil dari paksaan. Allah telah menakdirkan terhadap diri seseorang sesuatu amal perbuatan, misalnya kebaikan, agar orang tersebut mendapat pahala, dan begitu juga kalau Allah telah menakdirkan seseorang yang lain untuk melakukan amal perbuatan maksiat, maka orang tersebut telah ditakdirkan akan mendapat siksa.
Imam Sa’duddin At Taftazany menyebutkan golongan ini berpendapat bahwa manusia sekali-kali tidak menguasai dirinya dalam setiap perbuatan, apakah baik atau jahat. Manusia bukan subyek, melainkan hanya sebagai obyek (kehendak dari luar). Dengan kata lain, manusia dipaksa oleh kekuatan dari luar dirinya, yakni atas kehendak dan kekuasaan Allah. Ia tidak mempunyai kebebasan berkehendak (laa hurriyyatul iradah), dan tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuatu.

3. Faham Asy ‘Ariyah (kadang disebut Ahlussunnah)
Mohammad Fuad Fachruddin mengatakan bahwa kemunculan dua faham di atas, mendorong kalangan ulama Ahlussunnah, seperti Abul Hasan Al Asy’ari dan Mansur Al Maturidy memberikan jawaban untuk membela aqidah Islam agar tidak tersesat oleh faham Muktazilah (Qadariyah) maupun Jabariyah.
Walaupun di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah terbagi dua golongan, tetapi mereka sepakat bahwa manusia mempunyai (diberi) kebebasan berkehendak, berkuasa dan berpengetahuan (knowledge), tetapi hanya sampai ujung tertentu (ada batasnya/dibatasi).
Faham ini berpendapat bahwa sesungguhnya pada diri manusia ada kehendak berbuat dan ada khasiat yang melahirkan perbuatan. Semua itu diciptakan Allah SWT tatkala seseorang ‘memulai’ melakukan suatu perbuatan, sampai pada suatu ‘batas’, yang saat ‘batas’ itulah Allah menentukan, jadi tidaknya perbuatan tersebut. Jadi ketika seseorang akan/sedang berbuat maksiat atau perbuatan terpuji, maka ketika itulah Allah menciptakan perbuatan tersebut bagi si hamba. Kesimpulan itu diambil dari beberapa ayat Al Qur'an, antara lain:
“Mereka itulah penghuni jannah. Mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al Ahqaf: 14) “(Dan) Katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Rabb-Mu. Maka, siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman. Dan siapa saja yang ingin (kafir), biarlah ia kafir...” (QS Al Kahfi: 29) 
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS Al Baqarah: 286)
Dalam pembahasan ayat-ayat tersebut, faham ini memunculkan sifat Maha Adil (keadilan) Allah. Mereka mengaitkan sifat Maha Adil itu dengan dosa dan pahala, atau siksa dan kenikmatan, yang erat kaitannya dengan perbuatan.

Bagaimana Menyikapi Berbagai Faham Ini ?
Demikianlah, kaum Muslimin terpecah ke dalam tiga golongan besar ketika mereka membahas amal/perbuatan manusia yang dikaitkan dengan asas taklif, pahala dan siksa. Terjadinya golongan-golongan tersebut disebabkan karena mereka menakwilkan beberapa nash ayat Al Qur'an tentang perbuatan manusia sendiri, juga karena ada nash dari ayat Al Qur'an yang menurut mereka menunjukan bahwa perbuatan manusia tergantung kepada kehendak Allah. Golongan pertama dari kalangan Mu’tazilah, golongan kedua dari golongan Jabbariyah. Namun ada golongan yang berada di tengah-tengah kedua golongan tersebut, yaitu dari kalangan Ahlussunnah.

Dasar Pembahasan Masalah ‘Qadha dan Qadar’
Sesungguhnya, apabila kita meneliti masalah ‘qadha dan qadar’ (sebagai suatu istilah baru, yang memiliki makna tersendiri) akan kita dapati bahwa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu dasar berdirinya pembahasan ini atau dengan kata lain, apa yang menjadi dasar pembahasan dalam permasalahan qadha dan qadar ini. 
Sesungguhnya, dasar pembahasan/permasalahan ini adalah pertanyaan :
Apakah manusia itu dipaksa untuk melakukan (atau meninggalkan) suatu perbuatan (baik atau buruk), ataukah ia diberi kebebasan memilih ?
Inilah yang menjadi dasar pembahasan masalah ‘qadha dan qadar’, yaitu ‘perbuatan manusia’. Karena ‘perbuatan manusia’ merupakan hal yang dapat diindera bahkan dapat dirasakan, maka dalil-dalilnyapun bersifat aqli. Dengan demikian jelaslah permasalahan yang akan dibahas dalam tema ‘qadha dan qadar’ ini.

Hakikat Perbuatan Manusia dan Kejadian-Kejadian yang Menimpa Manusia
Sesungguhnya, apabila kita meneliti suatu perbuatan/kejadian, yang dilakukan atau yang menimpa manusia, akan kita jumpai bahwasanya manusia itu hidup dan beraktivitas dalam dua jenis perbuatan yaitu :
a. Perbuatan yang berada di bawah kontrol manusia, yang timbul karena semata-mata pilihan dan keinginannya sendiri.
b. Perbuatan yang berada di luar kontrol dan keinginan manusia. Pada bagian ini manusia berbuat atau terkena perbuatan yang berada di luat kemampuan dan kehendaknya. Manusia dipaksa menerimanya.
Contoh perbuatan dan kejadian yang pertama mudah diketahui, semisal, apakah kita mau duduk atau berjalan, makan-minum atau tidak, minum sirup atau khamir, berbakti atau durhaka kepada orang tua, belajar atau tidak dan lain-lain. Seluruh perbuatan ini jelas dilakukan atas kesadaran dan kesukarelaan manusia, tanpa paksaan dari pihak manapun.
Pada jenis perbuatan yang kedua manusia tidak memiliki peran apapun atas kejadiannya. Manusia dipaksa untuk menerimanya, sukarela maupun terpaksa, karena memang berada di luar kekuasaan manusia.
Jenis perbuatan dan kejadian-kejadian kedua ini terdiri dari dua bentuk. Pertama, kejadian yang ditentukan oleh ‘nidzom wujud’ (Sunnatullah/peraturan alami). Misalnya ia lahir dari seorang ibu dengan bentuk fisik dan warna kulit tertentu, hidup terikat dengan gravitasi bumi, ia tidak dapat terbang dan bernafas dalam air, dsb. 
Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh ‘nidzom wujud’, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, seperti seseorang yang terjatuh dari atas tembok dan menimpa orang lain dan orang yang tertimpa tersebut meninggal, atau seperti halnya kecelakaan pesawat, kereta api dan mobil disebabkan karena kerusakan mendadak, baik yang berasal dari manusia atau yang malah diluar kemampuannya. Meskipun tidak ditentukan oleh ‘nidzom wujud’, akan tetapi semua kejadian itu tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada di luar kekuasaannya.
Segala perbuatan dan kejadian yang berada di luar kontrol manusia tersebut inilah yang dinamakan qadha (keputusan) Allah. Sebab Allahlah yang meng-‘qadha’ (memutuskannya). Terlepas apakah hal/keputusan itu menjadi kebaikan (qadha yang baik) atau keburukan (qadha yang buruk), menurut penafsiran manusia. Yang jelas, kebaikan/keburukan tersebut bukan menimpa kita karena adanya ‘hari baik, hari sial, memakai jimat/mantra dsb. Semua itu diputuskan oleh Allah untuk menimpa kita. Inilah qadha Allah SWT, dan tidak ada satu makhlukpun yang dapat menentukan hal ini selain Allah semata.
Oleh karena itu seorang hamba tidak akan dihisab atas terjadinya kejadian-kejadian ini. Meskipun kejadian tersebut mengandung manfaat atau kerugian, disukai atau dibenci oleh manusia. Manusia tidak akan dihisab atas kejadian ini, sebab manusia tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian tersebut, serta tidak tahu menahu mengenai kejadian tersebut, bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Ia pun tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha, dan bahwasannya qadha itu datang dari Allah SWT, bukan dari yang lain.













Itulah pengertian qadha (dalam pembahasan istilah ‘qadha dan qadar’ yang digabungkan ini). Sedangkan untuk memahami pengertian qadar, dapat disimak dari uraian berikut ini:

Memahami Makna Qadar
Bahwasanya segala perbuatan dan kejadian, baik jenis yang pertama maupun yang kedua, semuanya terjadi dari benda menimpa (terhadap benda), baik benda itu termasuk dalam unsur alam semesta, manusia maupun kehidupan. Misalnya, peristiwa tabrakan antara mobil (benda, bersifat keras) dengan manusia, kebakaran, antara api dengan benda lain, dsb.
Sesungguhnya, Allah SWT juga telah menciptakan benda-benda tersebut beserta khasiat-khasiat/karakteristik (sifat-sifat) tertentu pada benda-benda tersebut. Contohnya saja di dalam api diciptakan ‘khasiat’ membakar. Dalam kayu terdapat ‘khasiat’ terbakar. Dalam pisau (benda tajam) terdapat khasiat memotong, demikian seterusnya. Pada manusia ada rasa lapar, haus dll. Juga ada gharizah/naluri, seperti naluri seksual, mempertahankan diri, beragama, dsb.
Allah SWT telah menjadikan khasiat-khasiat itu tunduk sesuai dengan ‘nidzom wujud’ yang tidak bisa dilanggar lagi. Bila suatu waktu tampak khasiat ini melanggar ‘nidzom wujud’, hal ini karena Allah SWT telah menarik khasiat tadi. Hal ini merupakan sesuatu yang berada di luar kebiasaan, yang hanya terjadi bagi para nabi dan menjadi mukjizat bagi mereka.
Seluruh khasiat yang diciptakan oleh Allah ini, baik yang terdapat pada benda-benda ataupun yang terdapat pada manusia (gharizah serta kebutuhan jasmani), inilah yang dinamakan qadar (penetapan batasan/kadar). Sebab hanya Allah sendiri yang menciptakan benda-benda, gharizah-gharizah serta kebutuhan jasmani tersebut. Dan Ia menetapkan khasiat-khasiat di dalamnya. Khasiat-khasiat ini tidak datang dengan sendirinya dari unsur-unsur tersebut --seperti pernyataan orang-orang atheis (materialis).
Dalam masalah ini, manusia sama sekali tidak memiliki andil atau pengaruh apapun. Ia hanya diwajibkan untuk mengimani bahwa yang menetapkan khasiat-khasiat dalam benda-benda tersebut hanyalah Allah SWT.
Perlu dipahami bahwa seluruh khasiat ini memiliki ‘qabiliyyah’ (tendensi/kecenderungan) untuk digunakan oleh manusia guna berbuat suatu amal perbuatan. Apakah perbuatan itu berupa kebaikan ataukah keburukan. Apabila digunakan sesuai dengan perintah Allah, perbuatan tersebut berarti perbuatan ‘baik’. Sedangkan apabila digunakan untuk melanggar aturan Allah SWT, berarti ia telah berbuat ‘jahat’. Baik ia melakukan perbuatannya itu dengan menggunakan khasiat-khasiat yang ada pada benda, atau dengan memenuhi panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya.

Makna Iman kepada Qadha - Qadar, Baik-buruknya dari Allah SWT
Dengan demikian, perbuatan atau kejadian yang berada di luar kontrol dan kemauan manusia, datangnya dari Allah, apakah baik atau buruk. Dan khasiat-khasiat yang ada pada benda-benda, gharizah-gharizah serta kebutuhan jasmani juga datangnya dari Allah, baik hal itu bisa menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadha, baik dan buruknya dari Allah SWT.
Dengan kata lain meng’itiqadkan bahwasanya perbuatan dan kejadian yang berada di luar kekuasaannya adalah dari Allah SWT. Dan wajib pula bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadar, baik dan buruknya dari Allah SWT. Baik khasiat-khasiat tersebut dapat menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Manusia sebagai makhluk tidak mempunyai pengaruh apapun dalam hal ini. Misalnya terhadap ajalnya, rizkinya dan dirinya, kecenderungan seksualnya yang terdapat pada gharizatun nau’, atau rasa lapar dan haus yang terdapat pada kebutuhan jasmaninya. Hal ini semuanya datang dari Allah SWT semata.

Amal Manusia Yang Akan Dihisab
Demikianlah pembahasan yang berkaitan dengan perbuatan dan kejadian yang terjadi di luar kontrol dan kemauan manusia. Adapun pada perbuatan dan kejadian yang berada di bawah kontrol dan kemauan manusia maka pada wilayah ini manusia berjalan ‘secara sukarela’ di atas ‘nidzom’ (peraturan) yang dipilihnya, baik itu syari’at Allah atau syari’at yang lainnya. Pada bagian inilah terjadi kejadian dan perbuatan yang berasal atau menimpa manusia disebabkan kehendaknya sendiri. Ia berjalan, makan, minum, dan bepergian kapan saja dikehendakinya. Ia membakar dengan api dan memotong dengan pisau apa saja yang dikehendakinya. Dan ia memuaskan keinginan seksualnya atau keinginan memiliki barang, ataupun keinginan perutnya dengan cara apapun yang ia kehendaki. Ia ‘melakukannya’ dengan sukarela sebagaimana ia ‘tidak melakukannya’ juga dengan sukarela, karena itulah ia akan ditanya atas perbuatan-perbuatannya di dalam bagian ini.
Bila terjadi suatu perbuatan atau kejadian, bukan ‘qadar’ ini yang melakukan perbuatan, melainkan manusialah yang melakukan perbuatan dengan memanfaatkan khasiat tadi. Dorongan seksual yang terdapat pada gharizatun nau’ memang mempunyai ‘qabiliah’ (kecenderungan) untuk kebaikan atau keburukan, namun manusialah yang menggunakan sesuai dengan pilihannya.
Hal ini karena Allah SWT telah menciptakan akal bagi manusia yang mampu membedakan. Di dalam tabi’at akal ini diciptakan kemampuan memahami serta membeda-bedakan; mana yang baik (taqwa), dan mana yang buruk, sebagaimana firman-Nya:
”(Dan) Ia pun memberinya ilham akan mana yang buruk dan mana yang taqwa.” [QS. As-Syams: 8] 
Dan disisi lain, Allah telah menunjukan kepada manusia jalan baik dan buruk.
”Telah Kami tunjukan padanya dua jalan.” [QS. Al-Balad: 10]
Maka apabila manusia memuaskan panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT berarti ia telah melakukan kebaikan dan berjalan di atas jalan taqwa. Akan tetapi apabila ia memenuhi panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya seraya berpaling dari perintah Allah dan larangan-Nya berarti ia telah melakukan perbuatan buruk dan berjalan di atas jalan kejahatan. Berdasar hal inilah manusia dihisab atas perbuatan-perbuatan yang berada pada kontrolnya. Kemudian diberi pahala dan dosa tergantung pada perbuatannya. Sebab ia melakukan secara sukarela tanpa ada paksaan sedikitpun (qadar Allah pada benda dan manusia tidak pernah ‘memaksa’ manusia untuk berbuat sesuatu).
Allah menjadikan akal sebagai sandaran (manath) pembebanan kewajiban syari’at. Karenanya Allah menyediakan pahala bagi perbuatan baik, sebab akalnya telah memilih untuk menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan untuk perbuatan jahat, manusia disediakan siksaan, sebab akalnya telah memilih untuk melanggar perintah dan larangan Allah. Sebagaimana firman-Nya : “Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS Al Mudatsir: 38)
Sumber: Mafahim BKLDK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar