Selasa, 30 Juni 2009

Jalan Menuju Keimanan

Ketika manusia sudah mencapai baligh (dewasa) yang salah ditandai salah satunya dengan kesempurnaan akalnya, maka semenjak itu dia berfikir tentang eksistensi dirinya di dunia ini. Manusia pada saat itu – disadarinya ataupun tidak – dihadapkan pada beberapa pertanyaan mendasar. Pertanyaan-pertanyaan mendasar itu sering disebut juga dengan uqdatul kubra (masalah/simpul yang besar) adalah: 1) Dari mana manusia berasal? 2) Untuk apa manusia ada? 3) Akan kemana manusia setelah kehidupan ini?
Bila pertanyaan ini terjawab maka manusia akan memiliki landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya, – terlepas dari jawabannya benar atau salah. Selanjutnya ia berjalan di dunia ini dengan ‘landasan’ tersebut, berekonomi dan berbudaya berdasar ‘landasan’ itu, bahkan ia akan mengajak orang dan kaum lain agar mengikuti ‘landasan’ tersebut.
Seseorang atau suatu kaum yang menyelesaikan uqdatul kubra dengan jawaban ”kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah/ materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi/benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup”, maka mereka akan hidup dengan aturan yang dibuatnya sendiri, dengan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan berbudaya, berekonomi dan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan material, selama mereka mampu hidup. Orang dan kaum seperti ini tidak meyakini adanya hal ghaib (ruh, akhirat, pahala-dosa dsb). Mereka percaya segalanya materi belaka. 
Sementara itu seseorang atau suatu kaum yang menjawab “dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia”, maka mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Penciptanya. Standar baik-buruk berdasarkan aturan Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi standar amal yang harus ia pertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pencipta. Demikian gambaran ringkas tentang ‘landasan kehidupan’ seseorang/suatu kaum, yang sekaligus merupakan jawaban ‘uqdatul kubro’ manusia. Tetapi bagaimana jawaban yang benar terhadap masalah ini? 
Dengan berbagai upaya, manusia mencoba mencari jawaban tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau akalnya. Karena segala hal yang dapat dijangkau akal manusia, tidak lepas dari (1) alam semesta (al kaun), (2) manusia (al insan) dan (3) kehidupan (al hayaah), maka ketiga hal inilah yang dijadikan obyek/media berpikir untuk mencari jawaban yang dimaksud.
Pemecahan yang benar terhadap masalah ini tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Islam telah memberi jawaban melalui proses berpikir yang jernih, menyeluruh, benar, sesuai dengan akal, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia. 
Berkaitan dengan proses berpikir, ada empat komponen yang menjadi syarat terjadinya proses berpikir tersebut. Empat komponen itu adalah: otak (dimag) yang sehat, realita yang terindra (al-Waqi’ al-Mahsusah), alat indra (al-hawas) dan informasi-informasi sebelumnya (al-Maklumat as-Saabiqah). 
Berikut ini dijelaskan komponen-komponen yang berkaitan dengan proses berpikir tersebut.
a. Otak yang sehat
 Otak adalah materi yang ada dalam tempurung kepala. Materi ini diliputi oleh tiga lapisan dimana dari celah-celanya sel-sel menembus keluar bertemu dengan segenap indra dan seluruh wilayah tubuh. Serabut sel saraf dalam penyebaran dan penjangnya mencapai batas-batas yang nyaris tidak terhitung. Pada kenyataannya sel-sel pembawa darah yang trebagi-bagi pada seluruh wilayah tubuh panjangnya bisa mencapai kurang lebih 100.000 mil. Dan otak ini bisa mengontrol tubuh dengan 76 sel utama.
 Berat otak manusia dewasa bia mencapai 1200 gram. Otak ini mampu menghabiskan 25% oksigen yang tersedia melalui paru-paru dengan pengukuran arus listrik pada otak, para ilmuwan telah menetapkan bahwa otak ini organ berpikir (tafkir) pada manusia. Maka hasil penelitian sebagian sel-sel otak dengan pengukuran arus listrik, telah ditemukan arus listrik yang tredeteksi diatas kertas ketika manusia memusatkan pikirannya, atau ketika emosi bergejolak, atau ketika mendengar kegaduhan, atau ketika mengahadapi perhitungan yang komplek dan rumit. Akan tetapi para ilmuwan tidak mengerti daerah mana pada otak yang mampu menghapal informasi yang masuk. Kenyataannya bahwa memusnahkan setengah otak sebagian para pasien tidak mampu menghilangkan daya ingat mereka. Memang ada sebagian ilmuwan yang memprediksikan bahwa infromasi-informasi sebelumnya pada ingatan semuanya menyamai tempat yang memuat 90 juta jilid yang penuh dengan informasi-informasi. 
b. Realita yang terindra
 Adapun realita yang terdeteksi oleh indra, terkadang merupakan realita materi seperti bulan, buku dan kuda, terkadang merupakan pengaruh dari realita materi seperti suara angin, suara pesawat, dan bau bunga mawar. Atau terkadang berupa non-materi yang dapat dimengerti dari pengaruhnya seperti keberanian, kesatriaan, ketakutan dan kelemahlembutan.
 Segala sesuatu yang eksistensinya bisa dimengerti ini terkadang bisa dirasa dan disentuh seperti gunung, pohon, dan keledai. Terkadang bisa dirasa, tetapi tida bisa disentuh seperti rasa sakit dan senang. Atau terkadang tidak bisa dirasa tidak pula bisa disentuh, maka eksistensinya bisa ditenukan dari penampakan-penampakannya seperti naluri seksual, naluri mempertahankan diri dan naluri beragama.
c. Indera 
 Penginderaan terhadap realita ini kemudian berpindah ke otak melalui panca indera atau sebagian indera, misalnya indera penglihatan beserta perangkatnya yaitu mata, indera pendengaran beserta perangkatnya adalah telinga, indera peraba dengan perangkatnya adalah kulit, indera perasa dengan perangkatnya adalah lidah, dan indera penciuman dengan perangkatnya adalah hidung.
 Cara mengindera dengan mata ini bisa sempurna (optimal) dengan cara berikut: cahaya yang terefleksi dari materi diterima oleh kornea mata ini sampai ke retina, lalu retina ini menyampaikannya ke sel penglihatan yang berbentuk arus listrik sehingga cahaya tersebut sampai ke pusat penglihatan yaitu di otak belakang. Pada saat itulah manusia bisa melihat gambar yang ada di depannya, tetapi tidak dapat memikirkannya, maksudnya tidak dapat menghukuminya kecuali dengan merujuk pada informasi-informasi yang tersimpan sebelumnya pada otak tentang apa yang dilihatnya. Penglihatan ini terbatas, ia mempunyai jarak pandang yang tidak dapat dilampauinya. Maka manusia tidak akan mampu melihat dengan mata telanjang banyak tubuh-tubuh seperti bakteri, virus, atom, dan bintang-bintang yang sangat jauh. Padahal sesuatu yang tidak bisa kita lihat lebih banyak dari yang kita lihat. Allah Swt. berfirman :
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat.Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.” [QS. Al Haaqqah: 38-40]
 
 Indera pendengaran adalah salah satu indera yang penting, karena melalui indera ini manusia memperoleh ilmu. Allah telah menyebutkan dalam ayat-ayat-Nya tentang indera pendengaran ini dengan penyebutan lebih dahulu daripada indera penglihatan, firman-Nya:
“Atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan" [QS. Yunus: 31].
“Dan Dia telah menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan... “ [QS. An-Nahl: 78].
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawaban.” [QS. Al-Isra: 36].
Indera pendengaran adalah telinga. Telinga ini menerima gelombang suara lalu disampaikan oleh sel pendengaran ke otak. Telinga manusia mampu menangkap suara-suara yang frekuensinya antara 16.000-20.000 getaran perdetik (Hertz, Hz). Sedangkan suara-suara yang getarannya lebih dari itu telinga manusia tidak mampu memindahkannya ke otak. Sedangkan telinga kucing itu bisa memindahkan suara yang getarannya mencapai 50.000 getaran perdetik, dan telinga kelelawar bisa memindahkan suara yang getarannya mencapai 120.000 getaran perdetik dan telinga kelelawar ini bisa mengganti penglihatan dalam mengontrol dalam segala sesuatu. Sedangkan manusia hanya bisa mendengar sebagian kecil suara-suara yang ada di sekitarnya.
 Indera peraba menggunakan sel-sel perasa yang banyak dan tersebar pada seluruh tubuh terutama pada kulit. Allah swt menyinggung mengenai kulit ini dalam firmanNya:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka ke dalam neraka. setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. An Nisaa’: 56]
Setiap kulit orang kafir itu hangus terbakar api neraka, maka Allah akan menggantikan dengan kulit yang lain supaya saraf-saraf indera yang ada pada kulit bisa memindahkan kepada mereka dengan merasakan sakitnya terbakar. Sedangkan hidung dan mulut atau lidah keduanya memindahkan perasa bau dan pengecap dengan jalan reaksi kimia melalui sel-sel penciuman dan sel-sel perasa kepada otak.
 
d. Informasi-informasi terdahulu
 Unsur keempat dari unsur-unsur akal, yaitu informasi-informasi terdahulu. Informasi-informasi terdahulu adalah pemikiran-pemikiran masa lampau tentang realita yang tersimpan dan terjaga di otak. Otak menyimpan informasi-informasi masa lalu itu untuk sewaktu-waktu dibutuhkan dalam akitivitas pemikiran. Informasi-informasi ini terdiri dari dua bagian: Bagian Pertama adalah pemikiran, pemikiran masa lalu tentang realita-realita terindera. Bagian ini dibutuhkan untuk menghukumi realita yang bertalian dengan informasi-informasi ini. Bagian kedua dari informasi-informasi terdahulu adalah informasi-informasi sebagai hasil dari respon otak karena penginderaan terdahulu yang bertalian dengan realita terindera. Respon ini diperoleh karena berulang-uangnya penginderaan terhadap realita yang mempunyai pertalian dengan pemenuhan naluri-naluri dan kebutuhan jasmani secara langsung. Pada umumnya yang membentuk informasi-informasi terhadap realita ini, dilihat apakah bisa memenuhi atau tidak. Dan informasi-informasi semacam ini tidak layak dipergunakan untk memberikan status hukum terhadap realita. Informasi-informasi realita terdahulu adalah bagian yang sangat penting untuk aktivitas berfikir. Tanpa informasi-infromasi ini pemahaman terhadap realita tidak dapat terjadi. 

Manusia ketika ia mendengar, melihat, mencium, membau, atau meraba realita, maka penginderaan terhjadapa realita tersebut berpindah ke otak dengan perangkat sel-sel perasa, dan penginderaan tentang realita itu datang darinya. Kalau pada otak telah terdapat informasi-informasi terdahulu tentang suatu realita, maka otak mengkaitkan informasi-informasi itu dengan realita yang terindera untuk menafsirinya kemudian menghukuminya. 
Maka seandainya kita menyodorkan kata-kata yang ditulis dalam bahasa inggris kepada seseorang yang telah memiliki informasi terdahulu tentang bahasa tersebut, kemudian ia melihat tulisan itu, lalu penginderaan berpindah ke otak dan ketika itu informasi-informasi terdahulu tentang bahasa inggris bekerjasama untuk mengetahui realita tersebut. Lalu orang itu segera berusaha membaca dan memahahaminya. Akan tetapi kalau saja realita ini, yaitu kata-kata berbahasa inggris disodorkan kepada orang lain yang tidak memiliki informasi-informasi terdahulu tentang bahasa inggris dan kemudian ia mengindera kata-kata itu dengan penglihatannya, maka ia tidak akan bisa membacanya apalagi memahaminya, karena ia tidak mempunyai informasi-informasi yang diperlukan untuk menafsiri realita ini sekaligus menghukuminya. Dan ketika ia mengulang-ulang penginderaannya terhadap suatu realita, maka hanya menjadi penginderaan saja, dan tidak menghasilkan pemikiran.
Pemikiran itu terkadang dengan adanya realita yang terindera dan terkadang dengan menggambarkan realita di dalam pikiran walaupun realita itu tidak ada. Terkadang manusia berpikir tentang laki-laki yang pernah dilihat beberapa tahun yang lalu, ketika ia membaca berita kematiannya pada surat kabar, lalu ia menghadikan gambarnya di dalam otaknya dan informasi-infromasi terdahulu tentangnya, kemudian manusia itu berkata kepada orang lain, “Sungguh laki-laki itu orang mulia”, dengan mengeluarkan hukum atas laki-laki itu walaupun ketika itu tidak ada penginderaan terhadapnya atau kemuliaannya. 
Mengindera suatu realita terkadang bisa dengan terjadinya penginderaan terhadap realita itu sendiri dengan indera penglihatan atau indera yang lain. Terkadang dengan terjadinya penginderaan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan realita itu seperti suara atau gambar, dan terkadang dengan respon penginderaan tentang realita ke dalam otak tanpa adanya realitas itu atau bekasnya di dalam jangkauan panca indera. Hal ini adalah sesuatu yang seringkali terjadi dalam pemikiran politik (tafkir siyasi). Pakar politik itu dengan perantara kumpulan berita ia mampu menggambarkan realita dan mengeluarkan analisis politik untuk menghubungi situasi yang tidak terjadi pada daerah atau jangkauan inderanya secara langsung. 

Kembali pada pembahasan tentang jalan menuju keimanan. Melalui proses berpikir yang didahului dengan penginderaan terhadap realita tentang alam semesta (al kaun), manusia (al insan) dan kehidupan (al hayaah), yang kemudian dikaitkan dengan informasi terdahulu yang dimilikinnya, manusia akan sampai pada jawaban tentang uqdatul kubro yang ada di dalam benaknya. Ada 3 (tiga) alternatif jawaban dari uqdatul kubro tersebut. Dan dari salah satu jawaban uqdatul kubro inilah, manusia akan menjalani kehidupannya di dunia.
Alternatif jawaban yang pertama, ”kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah/ materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi/benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup”. Dari jawaban ini kemudian muncul ide tentang komunisme atau atheisme. Sementara itu, alternatif jawaban yang kedua, yaitu “dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, dan semuanya akan kembali kepada Sang Pencipta tersebut, namun Sang Pencipta tidak campur tangan terhadap kehidupan di dunia ini sehingga manusia berhak mengatur kehidupannya sendiri.” Jawaban ini menjadi dasar dari ide sekulerisme atau pemisahan agama dengan kehidupan di dunia.
Alternatif jawaban yang terakhir yaitu “dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia”. Jawaban inilah yang diajarkan oleh Islam kepada manusia dalam memecahkan uqdatul kubro.
Sumber: Mafahim BKLDK 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar