Selasa, 30 Juni 2009

Menyelesaikan Konflik dan Kekerasan Rumah Tangga

Media dipenuhi kasus KDRT

Awal bulan Juni media elektronik dan media cetak kembali heboh memuat berita Manohara. Pemberitaan Manohara kembali mencuat dan menghangat pasca kepulangannya dari Negeri Kelantan Malaysia, Istana suaminya. Mantan model ini dilaporkan mendapat perlakuan yang tidak layak dari suaminya, Pangeran Tengku Temenggong Muhammad Fakhry. Kasus ini segera menjadi bagian yang perlu diproses secara hukum karena termasuk jenis kekerasan yang layak disebut Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Belum lagi kasus Manohara mendingin, media kembali memberitakan kasus KDRT serupa yang dialami oleh Cici Paramida. Penyanyi dangdut ini diserempet mobil oleh suaminya, Ahmad Suhaeby di daerah puncak, Bogor tanggal 14 Juni lalu. Kasusnya nampak jauh lebih heboh dengan adanya bekas luka nampak di bagian muka cici. Proses pengadilannya pun juga nampak serius, apalagi ketika Adhiyaksa Dault (Menpora) yang juga keuarga besar Cici turut memberikan pandangan mengenai kejadian tersebut.

Apakah KDRT itu?
Istilah KDRT mulai mencuat ke publik pasca pengesahan UU KDRT No. 23 tahun 2004 silam. Dalam UU tersebut KDRT didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang (terutama perempuan), yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga: termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dari definisi asli ini, maka suatu kasus baru akan bisa disebut sebagai bagian dari KDRT apabila telah muncul akibat yang disebutkan di atas. Sehingga tidak semua perseteruan dan percekcokan yang timbul dalam lingkup rumah tangga dapat dikategorikan dalam aksi KDRT. Namun kenyataannya, media begitu banyak menyajikan permasalahan keluarga (khususnya kalangan selebritis) dan kemudian mengklaimnya dengan KDRT. Mengapa hal ini terjadi? 
Pemahaman mengenai KDRT memang belum dipahami oleh masyarakat secara utuh. Banyak di antara mereka yang justru memahami KDRT hanya dari sudut pandang jender semata. Fenomena ini sangat wajar, karena aktivis jender yang diwakili oleh PSW UnDip menyebutkan bahwa suatu kejadian dapat digolongkan KDRT jika ada pihak yang merasa dirugikan. Akibat dari pernyataan ini kesalahan sedikit saja yang muncul dari kelemahan seseorang dalam rumah tangga akan begitu mudah masuk bagian dari KDRT. Misalnya saja, apabila suami istri melakukan hubungan dan si istri merasakan ketidaknyamanan, maka ia termasuk pihak yang dirugikan dan boleh melaporkannya ke polisi. Contoh lain, jika ada perkelahian antara orang laki-laki dalam rumah, kemudian berdampak pada perempuan, maka dapat pula hal ini dikategorikan dalam KDRT. Dengan adanya definisi yang dikaburkan oleh kaum jender ini, maka akan sangat wajar jika orang awam atau bahkan pihak kepolisian juga sulit menggambarkan suatu kejadian rumah masuk kategori KDRT atau tidak. Ketidakjelasan definisi ini berdampak pula pada mekanisme penyelesaian kasus KDRT (yang sudah dilaporkan) menjadi tidak jelas dan tidak tuntas.  
Kaum feminis membahasakan kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis jender. Mereka menganggap kekerasan berbasis jender merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam masyarakat bersistem patriarki (laki-laki yang mendimonasi dan memnguasai). Dengan kata lain, kaum feminis menganggap lumrah kekerasan terhadap perempuan itu terjadi bila pola masyarakatnya bersifat islami, karena Islam memandang laki-laki sebagai peminpin bagi perempuan. Mereka beranggapan bahwa posisi kaum perempuan dengan pola masyarakat seperti ini akan cenderung terpinggirkan, karena perempuan hanya diberi peran sebagai istri dan ibu saja. Feminis menganggap bahwa peranan perempuan sebagai istri dan ibu saja akan menyebabkan kaum perempuan selalu menjadi nomor dua setelah laki-laki, sehingga wajar jika dengan posisi demikian perempuan selalu menjadi objek sasaran kekerasan, termasuk dalam lingkup rumah tangga.
Adanya motif kesetaraan jender ini menyebabkan pemberitaan media yang menyangkut masalah keperempuanan, khususnya yang mengalami perlakuan tidak baik menjaditer amat sangat berlebihan sekali. Mereka tidak sekedar menunjukkan aksi simpati pada korban yang diliput, tetapi mereka juga memanfaatkan media untuk menyebarluaskan pemahaman-pemahaman mereka mengenai kesetaraan jender di tengah masyarakat. Tujuan mereka tidak lain agar masyarakat ikut terseret dalam hebohnya pemberitaan, ikut merasa simpati, kemudian menerima mentah-mentah komentar yang mereka sampaikan tanpa sempat berpikir apakah yang mereka sampaikan itu diperbolehkan atau tidak dalam Islam. Dari sini jelas sekali bahwa yang sebenarnya terjadi adalah adanya upaya mengait-ngaitkan masalah pribadi rumah tangga dengan jender dan mengaitkan antara kekerasan dengan jender pula.
Bagaimana Islam Memandang?
Sebagaimana Manohara dan Cici, setiap perempuan yang sudah berumah tangga juga akan mengalami pahit manisnya hidup bersama suami. Namun apakah kemudian kita akan bersikap seperti Manohara yang minta tolong ibunya melaporkan suaminya yang tinggal di Malaysia ke kepolisian Indonesia ataukah seperti Cici yang mengatakan kepada pers bahwa masalah yang dia alami adalah musibah dan seharusnya tidak perlu dipaparkan ke media?
Ibu, sebagai wanita yang dididik dengan nilai keislaman sejak kecil, tentunya akan jauh lebih afdhal jika kita kembali melihat tuntunan dalam menyelesaikan konflik rumah tangga (yang mengandung unsur kekerasan ataupun tidak). Islam memandang kehidupan suami istri sebagai kehidupan persahabatan. Suami istri harus saling bersikap baik satu dengan lainnya dan juga saling menjaga kehormatan masing-masing. Allah berfirman: ...mereka (istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu (suami) pun adalah pakaian bagi mereka.... (TQS Albaqarah: 187). Dengan demikian, apabila timbul permasalahan dalam rumah tangga, kemudian suami hendak mengingatkan istri, maka tidak dibenarkan langsung main pukul dan main kekerasan. Syariat Islam memiliki panduan tepat dalam hal ini. Surat anNisaa’ ayat 34 menerangkan bahwa ada tahapan yang harus ditempuh seorang suami dalam menyikapi kekhilafan istri yang berlebihan. Suami boleh menasehati istrinya, kalau istri masih tidak taat suami akan memisahkan istri di tempat tidur, dan jika masih membangkang suami dibolehkan memukul istrinya. Ibnu Katsir menjelaskan pukulan di sini adalah pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak berbekas yang tidak lain tujuannya sema-mata demi kebaikan. Jadi bukan memukul tanpa
sebab yang dibenarkan Islam, atau memukul dengan cara yang menyakitkan atau berbekas. Islam memberikan amanah tanggung jawab kepemimpinan keluarga kepada kepada suami. Islam memerintahkan suami memimpin istrinya dalam suasana persahabatan dan memperlakukan istrinya dengan ma’ruf sebagaimana yang tercantum dalam surat anNisaa’ ayat 19. terkait hal ini, Rasulullah bersabda: ”Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik budi pekertinya. Dan orang yang paling baik budi pekertinya di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya”. Dengan memahami ayat dan hadits di atas seorang suami akan memiliki landasan iman yang kuat dalam mejalankan amanahnya sebagai seorang pemimpin, sehingga tidak mudah melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan karena ia selalu merasa diawasi Allah. (@R, dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar