Kamis, 30 Juli 2009

Ajal dan Kematian

        Banyak manusia yang berprasangka bahwa kematian (maut) adalah satu, dan penyebab dari kematianitu banyak dan bermacam-macam. Terkadang suatu kematian terjadi karena sebab penyakit yang mematikan seperti aids, kanker, jantung, TBC, lever, keracunan, terkoyak-koyak pisau belati terpenggal kepalanya, terhentinya kerja jantung secara mendadak, dan lain sebagainya. Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah sebab-sebab yang nyata dan langsung (asbabmubaasyarah) yang menyebabkan datangnya kematian. Artinya kematian itu dating karena sebab-sebab tersebut. Dengan pandangan seperti itu kemudian mereka mengatakan sebuah aksioma; “banyak sebab untuk mati tetapi mati tetap satu”.
Tetapi perlu disadari bahwa kematian dan sebab kematian adalah satu. Sebab kematian adalah sampainya ajal, dan tidak ada sebab lain. Berbagai perkara terdahulu (penyakit-penyakit yang mematikan dan sebagainya) hanyalah merupakan suatu keadaan (al haal) yang sampai kepadanya datangnya kematian. Semua itu bukanlah sebab-sebab kematian.
Berdasarkan hokum kausalitas (sebab-akibat), suatu sebab akan menghasilkan musabab atau akibat dengan pasti dan suatu musabab tidak akan terjadi melainkan dengan satu-satunya sebab baginya sendiri (suatu pasangan yang khas). Berlainan dengan keadaan atau al haal, ia merupakan suatu kondisi tertentu yang dapat menghasilkan sesuatu berdasarkan kebiasaan atau kelayakan. Tetapi al haal tersebut terkadang menghasilkan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan atau tidak menghasilkan sesuatu apapun. Kadang-kadang ditemukan adanya al haal, tetapi kematian tidak terjadi, dan terkadang kematian tetapi tidak ada al haal.

Sebagai contoh, seseorang mendapat kecelakaan dan menderita luka parah, sehingga menurut para dokter atau menurut adat kebiasaan, seharusnya ia sudah mati (misalkan sepertiga darahnya telah keluar atau organ vitalnya sudah rusak dan sebagainya) tetapi ternyata ia tidak mati, bahkan kemudian sembuh sehat wal afiat. Juga terkadang terjadi kematian tanpa sebab yang jelas, seperti orang-orang yang dikatakan mati mendadak, atau tiba-tiba jantungnya terhenti tanpa dapat dijelaskan oleh ahli-ahli medis, mengapa hal itu terjadi. Akhirnya para ahli tersebut biasanya menduga-duga setelah melakukan pemeriksaan yang cermat. Sampai saat inipun tidak bisa ditentukan penyakit mana yang sebenarnya menyebabkan kematian pada seseorang, jika pada dirinya ditemukan penykit-penyakit yang berbahaya seperti kanker. Ginjal, lever, dan sebagainya.

         Banyak kasus-kasus lain yang telah disaksikan oleh para ahli medis di rumah-rumah sakit. Seorang sudah dinyatakan tak ada lagi harapan untuk hidup, ternyata kemudian sehat, segar bugar. Yang lain lagi dinyatakan menderita penyakit ringan, tetapi kemudian mati tanpa sebab-sebab yang mereka ketahui. Semua itu masih merupakan misteri dikalangan para ahli kesehatan, apalagi jika mereka tidak mempunyai nilai-nilai iman.

           Semua itu adalah fakta yang telah disaksikan oleh manusia dengan mata kepalanya sendiri. Di sini jelas, bahwa kondisi atau keadaan atau al haal yang sampai kepadanya kematian, bukan merupakan sebab kematian. Jika ia merupakan sebab kematian, mengapa ia dapat menghasilkan keadaan yang berbeda-beda atau mengapa suatu kematian dapat terjadi tanpa sebab itu atau dengan sebab yang lain. Adanya kematian yang terjadi dengan sebab selain itu, walaupun hanya sekali merupakan petunjuk yang qath’I bahwa keadaan-keadaan itu bukan asbab, tetapi al haal. Jadi sebab kematian yang hakiki memang dapat menyebabkan datangnya kematian sebagai musabab, bukanlah hal-hal tersebut di atas, melainkan di luar semua itu.
Sebab hakiki dari kematian tak dapat diselidiki oleh akal, karena sebab itu berada di luar jangkauan indra manusia. Oleh karena itu, manusia harus mencari petunjuk kepada al Khaliq, Allah swt, tentang masalah ini. Demham kata lain, masalah ini harus dibuktikan secara nqli, berdasarkan dalil-dalil qath’I (baik tsubut maupun dlalalah nya), yakni berdasarkan al quran dan hadits mutawatir yang ayat-ayatnya mempunyai kepastian makan dan tidak menimbulkan penfsiran lain, dari segi bahasa arab dan yar’i.
Berbagai ayat dalam al quran telah menegaskan bahwa sebab dari kematian adalah satu, yaitu sampainya ajal dam dzat yang mematikan adalah Allah swt. Kematian hanya datang karena ajal dan hanya Allah-lah yang mematikan.
Allah swt berfirman,
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izi Allahyang sebagai ketetapan yang tertentu waktunya” (QS. Ali Imran: 145).
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang) yang belum mati ketika tidurnya maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir” (QS.Az Zumar : 42). 
“…. Tuhanku ialah Yang menhidupkan dan Yang mematikan” (QS. al-Baqarah: 258).
“Di mana saja kamu berada,kematian akanmendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh”
(QS. an-Nisa’: 70).
Katakanlah sesungguhnya kematian yangkamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu kan menemukan kamu” (QS. al-Jumua’h: 8).
Maka jika telah datang batas waktunya (ajal), mereka tak dapat mengundurkan barang sedetikpun dan tidak dapat memajukannya” (QS. al_A’raf: 34).

Semua ayat tersebut dan bnayak ayat-ayat yang senada adalah qath’iy tsubut, sebab ia berasal dari Allah SWT. Dan qath’iy dilalah karena maknanya sanat jelas dan tidak memerlukan penafsiran. Semua itu menunjukkan bahwa Allah SWT adalah dzat yang mematikan dan sebab kematian adalah sampai ajal.
Oleh sebab itu seorang muslim wajib beriman,percaya dengan yakin, bahwa sebab kematian adalah sampainya ajal. Apa yang disangka, sebagai sebab kematian, bukanlah sebab kematian tetapi hanya merupakan keadaan yang sampai kepadanya kematian. Diapun wajib beriman bahwa kematian itu berada di tangan Allah. Allah SWT adalah dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dan sebab kematian adalah datangnya ajal. Ketika ajal datang, kematian tak dapat diundurkan atau dimajukan sedikitpun,dan manusia tak mampu menghindarinya atau lari darinya.
Adapun usaha manusia untuk menjauhkan diri dari kematian, sebenarnya adalah menghindar dari al-haal yang smapai kepadanya kematian. Dia tak mungkin berpaling dari salah satu keadaan untuk mati. Manusia tidak perlu takut atau lari dari kematian. Sebab tidak mungkin ia selamat dari kematian.
Manusia tidak akan matikecuali jika telah sampai ajalnya. Tak ada bedanya apakah ia mati biasa, mati terbunuh, mati terbakar, dan sebagainya. Yang jelas, kematian dan ajal berada di tangan Allah SWT.
Dan menjadi kewajiban bagi tiap muslim untukmemilih dan menggunakan al-haal (keadaan) yang paling baik dan mulia, saat mana ajal tiba, yaitu dalam keadaan berjuang (jihad) di jalan Allah. Dan sebaliknya, tidak boleh seorang muslim merasa gentar, takut dan khawatir, bahwa perjuanagnanya di jalan Allah itu sebagai perbuatan menantang maut. Bahlan harus berpendirian bahwa,perjuanagn di jalan Allah, adalah keadaan yang paling baik dan mulia, apabila dalam keadaan itu ajalnya tiba. Sumber: Mafahim BKLDK

Rizki

Rizki bukan pemilikan. Rizki adalah suatu pemberian. Rizki berasal dari akar kata razaqa yang artinya memberi. Adapun yang dinamakan pemilikan adalah penguasaan terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu menurut syara’ (syariat). Rizki dapat berupa rizki yang halal atau rizki yang haram. Kedua-duanya dinamakan rizki. Harta yang diperoleh seorang pekerja sebagai upah kerjanya adalah rizki (yang halal). Demikian pula harta yang diperoleh oleh seseorang di meja judi juga dinamakan rizki. Semua itu adalah harta yang diberikan oleh Allah swt ketika manusia mengusahakan suatu “haal” (keadaan) yang dapat mendatangkan rizki.
Banyak yang menyangka bahwa manusia dapat memberikan rizki untuk dirinya sendiri. Seorang pegawai yang menerima gaji tertentu, menyangka bahwa ia memberikan rizki kepada dirinya. Seorang pedagang yang memperoleh keuntungan karena usahanya, menyangka pula bahwa ia memberikan rizki pada dirinya. Demikian juga dengan yang lain, baik seorang dokter, guru, pegawai dan orang yang mendapat imbalan dari jasanya, masing-masing menyangka demikian karena mereka tidak memahami hakekat “al haal” (keadaan) yang datang padanya rizki. Mereka menyangka bahwa “al haal” itu sebagai sebab datangnya rizki, padahal bukan.
Satu hakekat yang harus diterima oleh setiap muslim adalah bahwa rizkinya itu dari Allah, bukan dari manusia. Dan al haal adalah suatu keadaan yang padanya datang rizki. Ia bukanlah merupakan sebab datangnya rizki. Sebab hubungan sebab-akibat adalah suatu hubungan yang pasti. Jika memang al haal itu menjadi sebab, mengapa sering menghasilkan sesuatu yang berbeda ? kadang-kadang sekalipun al haal itu ada, tetapi rizki tidak datang. Jika ia menjadi sebab, maka pasti akan menghasilkan akibatnya, yaitu rizki. Kenyataannya, al haal tidak menghasilkan rizki yang pasti. kadang-kadang rizki itu dating dengan adanya al haal. Hal ini menunjukkan bahwa al haal bukanlah menjadi sebab datangnya rizki.
Oleh karena itu tidak mungkin dikatakan bahwa al haal yang padanya datang rizki, adalah sebab datangnya rizki. Demikian juga tidak mungkin dikatakan bahwa orang-orang yang mengusahakan al haal tersebut adalah yang mendatangkan rizki dengan jalan itu. Sebab pengertian ini bertentangan dengan nash-nash qath’iy, baik tsubut maupun dlilalah. Jika suatu pemikiran atau pemahaman bertentangan dengan nash qath’I, maka yang harus dijadikan pegangan adalah nash-nash tersebut. Banyak ayat-ayat al quran yang menjelaskan masalah ini dengan keterangan yang jelas dan gambling, yang tidak mungkin ditakwil lagi bahwa rizki adalah semata-mata dari Allah, bukan dari manusia. Semua itu memberikan kepastian bahwa apa yang kita saksikan berupa sarana-sarana atau cara-cara dimana rizki datang padanya itu semata-mata adalah al haal yang padanya memungkinkan datangnya rizki tersebut. Sebagaimana firman Allah swt:
“Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (QS. Ali Imran: 37).
Demikian juga dalam ayat yang lain:
“Dan makanlah dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu yang halal lagi baik” (QS. Al Maidah: 88).
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rizki” (QS. Ar Ruum: 40).
“Nafkahkanlah sebagian rizki yang diberikan Allah kepadamu” (QS. Yaasiin: 47).
“Allah-lah yang memberi rizki kpadanya dan kepadamu” (QS. Al Ankabut: 60).
“Kamilah yang memberi rizki kepadamu” (QS. Thoha: 132).
“Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka” (QS. Al An’am:151).
“Kamilah yang akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka” (QS. Al Israa: 31).
“Benar-benar Allah akan memberikan rizki kepada mereka dengan rizki yang baik” (QS. Al Haaj: 58).
“Allah meluaskan rizki dan menyempitkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Ar Ra’ad: 28).
“Maka mintalah rizki itu dari sisi Allah” (QS. Al Ankabut: 17).
“Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rizkinya” (QS. Huud: 6).
“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rizki” (QS. Adz Dzariyat: 58).


Ayat-ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang banyak jumlahnya adalah qath’I dilalah. Hanya satu makna yang dikandungnya dan tidak menerima takwil apapun. Yakni bahwa rizki itu adalah dari Allah semata bukan dari yang lain.
Allah swt memerintahkan hamba-hamba-Nya yang memiliki kemampuan untuk melakukan ikhtiyar dan mengusahakan al haal yang memungkinkan datangnya rizki. Merekalah yang harus mengusahakan segala bentuk al haal dengan usaha mereka. Tetapi bukanlah mereka yang mendatangkan rizki, sebagaimana ditegaskan dalam makna ayat-ayat itu. Allah-lah yang memberikan rizki kepada mereka keadaan-keadaan itu tanpa memandang apakah rizki itu halal atau haram. Dan tanpa memandang apakah al haal (keadaan) itu dibolehkan, diharamkan atau diwajibkan oleh Allah, atau tidak. Juga tanpa memandang apakah al haal itu menhasilkan rizki atau tidak.
Hanya saja Islam telah mengatur tata cara mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang bagi seorang muslim mengusahakan al haal yang dapat mendatangkan suatu rizki. Jadi jelaslah bedanya antara rizki dan pemilikan.
Adapun hak pemilikan terhadap rizki tersebut, Islam mengatur melalui sebab yang ditentukan oleh syara’. Hak pemilikan hanya terbatas terhadap rizki yang halal menurut syara’. Di luar itu, termasuk rizki yang haram dan karena itu tidak ada hak pemilikan atasnya. Sumber: Mafahim BKLDK