Kamis, 30 Juli 2009

Rizki

Rizki bukan pemilikan. Rizki adalah suatu pemberian. Rizki berasal dari akar kata razaqa yang artinya memberi. Adapun yang dinamakan pemilikan adalah penguasaan terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu menurut syara’ (syariat). Rizki dapat berupa rizki yang halal atau rizki yang haram. Kedua-duanya dinamakan rizki. Harta yang diperoleh seorang pekerja sebagai upah kerjanya adalah rizki (yang halal). Demikian pula harta yang diperoleh oleh seseorang di meja judi juga dinamakan rizki. Semua itu adalah harta yang diberikan oleh Allah swt ketika manusia mengusahakan suatu “haal” (keadaan) yang dapat mendatangkan rizki.
Banyak yang menyangka bahwa manusia dapat memberikan rizki untuk dirinya sendiri. Seorang pegawai yang menerima gaji tertentu, menyangka bahwa ia memberikan rizki kepada dirinya. Seorang pedagang yang memperoleh keuntungan karena usahanya, menyangka pula bahwa ia memberikan rizki pada dirinya. Demikian juga dengan yang lain, baik seorang dokter, guru, pegawai dan orang yang mendapat imbalan dari jasanya, masing-masing menyangka demikian karena mereka tidak memahami hakekat “al haal” (keadaan) yang datang padanya rizki. Mereka menyangka bahwa “al haal” itu sebagai sebab datangnya rizki, padahal bukan.
Satu hakekat yang harus diterima oleh setiap muslim adalah bahwa rizkinya itu dari Allah, bukan dari manusia. Dan al haal adalah suatu keadaan yang padanya datang rizki. Ia bukanlah merupakan sebab datangnya rizki. Sebab hubungan sebab-akibat adalah suatu hubungan yang pasti. Jika memang al haal itu menjadi sebab, mengapa sering menghasilkan sesuatu yang berbeda ? kadang-kadang sekalipun al haal itu ada, tetapi rizki tidak datang. Jika ia menjadi sebab, maka pasti akan menghasilkan akibatnya, yaitu rizki. Kenyataannya, al haal tidak menghasilkan rizki yang pasti. kadang-kadang rizki itu dating dengan adanya al haal. Hal ini menunjukkan bahwa al haal bukanlah menjadi sebab datangnya rizki.
Oleh karena itu tidak mungkin dikatakan bahwa al haal yang padanya datang rizki, adalah sebab datangnya rizki. Demikian juga tidak mungkin dikatakan bahwa orang-orang yang mengusahakan al haal tersebut adalah yang mendatangkan rizki dengan jalan itu. Sebab pengertian ini bertentangan dengan nash-nash qath’iy, baik tsubut maupun dlilalah. Jika suatu pemikiran atau pemahaman bertentangan dengan nash qath’I, maka yang harus dijadikan pegangan adalah nash-nash tersebut. Banyak ayat-ayat al quran yang menjelaskan masalah ini dengan keterangan yang jelas dan gambling, yang tidak mungkin ditakwil lagi bahwa rizki adalah semata-mata dari Allah, bukan dari manusia. Semua itu memberikan kepastian bahwa apa yang kita saksikan berupa sarana-sarana atau cara-cara dimana rizki datang padanya itu semata-mata adalah al haal yang padanya memungkinkan datangnya rizki tersebut. Sebagaimana firman Allah swt:
“Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (QS. Ali Imran: 37).
Demikian juga dalam ayat yang lain:
“Dan makanlah dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu yang halal lagi baik” (QS. Al Maidah: 88).
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rizki” (QS. Ar Ruum: 40).
“Nafkahkanlah sebagian rizki yang diberikan Allah kepadamu” (QS. Yaasiin: 47).
“Allah-lah yang memberi rizki kpadanya dan kepadamu” (QS. Al Ankabut: 60).
“Kamilah yang memberi rizki kepadamu” (QS. Thoha: 132).
“Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka” (QS. Al An’am:151).
“Kamilah yang akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka” (QS. Al Israa: 31).
“Benar-benar Allah akan memberikan rizki kepada mereka dengan rizki yang baik” (QS. Al Haaj: 58).
“Allah meluaskan rizki dan menyempitkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Ar Ra’ad: 28).
“Maka mintalah rizki itu dari sisi Allah” (QS. Al Ankabut: 17).
“Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rizkinya” (QS. Huud: 6).
“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rizki” (QS. Adz Dzariyat: 58).


Ayat-ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang banyak jumlahnya adalah qath’I dilalah. Hanya satu makna yang dikandungnya dan tidak menerima takwil apapun. Yakni bahwa rizki itu adalah dari Allah semata bukan dari yang lain.
Allah swt memerintahkan hamba-hamba-Nya yang memiliki kemampuan untuk melakukan ikhtiyar dan mengusahakan al haal yang memungkinkan datangnya rizki. Merekalah yang harus mengusahakan segala bentuk al haal dengan usaha mereka. Tetapi bukanlah mereka yang mendatangkan rizki, sebagaimana ditegaskan dalam makna ayat-ayat itu. Allah-lah yang memberikan rizki kepada mereka keadaan-keadaan itu tanpa memandang apakah rizki itu halal atau haram. Dan tanpa memandang apakah al haal (keadaan) itu dibolehkan, diharamkan atau diwajibkan oleh Allah, atau tidak. Juga tanpa memandang apakah al haal itu menhasilkan rizki atau tidak.
Hanya saja Islam telah mengatur tata cara mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang bagi seorang muslim mengusahakan al haal yang dapat mendatangkan suatu rizki. Jadi jelaslah bedanya antara rizki dan pemilikan.
Adapun hak pemilikan terhadap rizki tersebut, Islam mengatur melalui sebab yang ditentukan oleh syara’. Hak pemilikan hanya terbatas terhadap rizki yang halal menurut syara’. Di luar itu, termasuk rizki yang haram dan karena itu tidak ada hak pemilikan atasnya. Sumber: Mafahim BKLDK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar