Selasa, 30 Juni 2009

Pemahaman Aqidah Islam

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
[QS. Al-Ikhlash: 1-4]

Definisi Aqidah
Perlu dipahami di awal bahwa istilah aqidah tidak pernah digunakan dalam teks Al Qur’an maupun sunnah Rasul Saw. Istilah aqidah baru dikenal dan digunakan oleh para ulama ushuluddin. M. Husain Abdullah dalam Dirasat fi al-Fikr al-Islami menyampaikan bahwa ditinjau dari bahasa arab, aqidah berasal dari kata kerja 'aqada yang bermakna syadda (menguatkan atau mengikatkan). Kata 'aqada ini dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai pengertian yang intinya mengandung makna ikatan atau penguatan, misalnya ‘aqdu al-habl (mengikatkan tali), ‘aqdu al-bai’ (mengadakan ikatan atau akad jual-beli), ‘aqd al’ahdi (mengadakan ikatan atau akad perjanjian) dan sebagainya. Masih secara bahasa, aqidah dapat pula bermakna ma in’aqada ‘alaihi al-qalbu, yaitu sesuatu yang hati itu terikat padanya. Adapun pengertian in’aqada adalah jazama bihi (hati itu memastikannya) atau shaddaqahu yaqiniyan (hati itu membenarkan secara yakin atau pasti). Jadi, menurut bahasa, aqidah adalah segala pemikiran yang dibenarkan secara pasti oleh hati, sedemikian hingga hati itu terikat kepadanya dan memberi pengaruh nyata pada manusia.
Ditinjau dari istilah, aqidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia tersebut
Hafidz Abdurrahman dalam Diskursus Islam, Politik dan Spiritual memberikan definisi aqidah secara global sebagai aqidah pemikiran yang menyeluruh mengenai manusia, kehidupan serta hubungan diantara semuanya dengan apa yang ada sebelum kehidupan (Pencipta) dan setelah kehidupan (Hari Kiamat), serta mengenai hubungan semuanya dengan apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan (syariat dan hisab), yang diyakini oleh qalbu (wijdan) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas (yang diimani), dan bersumber dari dalil. 
Dalam konteks Islam, aqidah Islam bisa didefinisikan dengan iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, Qadha dan Qadar dimana baik dan buruknya semata-mata dari Allah, yang diyakini oleh qalbu (wijdan) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas, dan bersumber dari dalil.
Sedangkan makna iman itu sendiri adalah tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan dalil/bukti). Pembenaran pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan (dzann) sedikitpun. Sesuai dengan kenyataan artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya, bukan diada-adakan (mis. keberadaan Allah). Ditunjang dengan suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu. Tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti. Imam al-Ghazali menyatakan:

"Iman adalah pembenaran pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya.”

Aqidah dibangun atas dasar pemikiran rasional (aqliyah)
Aqidah Islam bukanlah suatu keyakinan yang dibangun atas dasar doktrin atau taklid semata. Namun, aqidah Islam haruslah muncul dari proses berfikir secara rasional. Imam Syafi'i dalam kitab Fiqhul Akbar berkata:

"Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah Ta'ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan qalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma'rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma'rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin."

Pemikiran rasional yang membangun sebuah aqidah juga pernah ditunjukkan oleh seorang arab baduy yang suatu ketika ditanyakan kepadanya "Dengan apa engkau mengenal Rabbmu ?" Dia menjawab :

"Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan. Bukankah gugusan bintang yang ada di langit dan ombak yang bergelombang di laut menunjukkan adanya Sang Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa."

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [QS.Al-Baqarah: 164] 
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” [QS. Ali Imran: 190]

Ayat di atas dan masih banyak lagi ayat yang serupa mengajak manusia untuk memperhatikan segenap kandungan alam semesta dengan seksama dan memperhatikan apa yang ada di dalam diri dan sekelilingnya. Semua itu merupakan bukti nyata adanya Pencipta yang Maha Mengatur. Dengan cara itu, imannya kepada Allah SWT merupakan keyakinan yang mantap karena berdasarkan bukti yang nyata dan rasional.
Islam memperingatkan manusia untuk tidak mengikuti begitu saja keyakinan dan jalan hidup yang ditempuh oleh nenek moyangnya tanpa meneliti sejauh mana kebenaran pilihan tersebut. Dengan kata lain, Islam telah melarang seorang muslim bertaqlid dalam masalah keyakinan atau aqidahnya. Allah SWT berfirman : “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" [QS. Al-Baqarah: 170]
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.’ mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” [QS. Al-Maidah: 104]
Ayat-ayat di atas menunjukkan secara tegas larangan pada setiap manusia untuk mengikuti begitu saja (taqlid) kepada nenek moyangnya dalam masalah aqidah. Keyakinan atau aqidah yang diperoleh dengan jalan taqlid adalah keimanan yang rapuh, mudah sekali digoncang oleh berbagai cobaan dan tantangan. Abdul Majid Az-Zindani menyatakan :

“Kalau manusia ingin memiliki iman yang benar, ia harus berilmu (menggunakan akalnya)... sebab iman yang didapat dan dipertahankan dengan jalan taqlid kepada orang lain akan segera goncang justru di awal menghadapi cobaan dan serangan.”

Inilah proses membangun aqidah yang diajarkan Islam. Aqidah yang dibangun berlandaskan pemikiran yang jernih hasil proses pengamatan atas bukti-bukti yang nyata yang terhampar di alam semesta ini. Melalui pengamatan dan pemikiran inilah seseorang akan sampai kepada keyakinan tentang eksistensi Allah SWT.
Walaupun wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam membangun aqidahnya, namun tidak mungkin akal tersebut akan menjangkau semua hal. Akal hanya mampu menjangkau sesuatu yang dapat dijangkau oleh indera (al-waqi’ al-mahsus), yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Mengenai keterbatasan akal ini, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menetapkan sebuah kaidah dalam kitabnya Ma’lumat li Asy Syabab :

Ma la yudriku al-hissu la yudrikuhu al-‘aqlu (Segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau indera, pasti tidak dapat dijangkau akal.)

Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang Dzat Allah, karena Dzat Allah berada diluar jangkauan indera dan pastinya juga tidak terjangkau oleh akal. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :

"Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu pikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya." (HR Abu Nu'aim dalam "Al Hilyah"; sifatnya marfu', sanadnya dhoif tetapi isinya shahih)

Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Dzat Allah yang sebenarnya; bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas 'Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, Dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa, tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Kita hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkan-Nya melalui wahyu. Bila kita menghadapi suatu ayat/hadits yang menceritakan tentang menyerupakan Allah dengan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat/hadits tersebut dan menta'wilkannya sesuai dengan akal kita. Ia lebih baik kita serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akal. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat, tabi'in, dan ulama salaf. Imam Ibnul Qoyyim berkata:

"Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan faham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al Qur'an dengan suara bulat. Mereka tidak menta'wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya."

Ketika Imam Malik ditanya tentang makna "persemayaman-Nya" (istiwaa'), beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata :

"Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat difahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid'ah/ salah."

Al Muzani – salah seorang murid Imam Syafii – pernah mengalami keragu-raguan dalam masalah tauhid. Maka Imam Syafii mengatakan kepadanya, “Sekarang kembalilah saja kepada firman Allah SWT :
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [QS. Al Baqarah : 163-164]
Setelah membacakan ayat tersebut, Imam Syafii berkata kepada Al Muzani : “Maka jadikanlah makhluk ciptaan Allah sebagai dalil atas adanya Al Khalik jangan menyusahkan dirimu dengan sesuatu yang tak dapat dijangkau oleh akalmu.”

Jadi, jelaslah bahwa kendati akal menjadi dalil atas adanya Allah SWT (karena keberadaan-Nya masih dalam jangkauan akal dengan jalan mengindera makhluk-Nya) tetapi tetap saja akal manusia tidak mungkin membahas sesuatu yang berada di luar jangkauannya, seperti bagaimana Dzat Allah, ‘asma wa sifat (nama-nama dan sifat-sifat) Allah. 

Dalil aqli dan Dalil naqli
Karena tidak semua perkara aqidah dapat dijangkau dengan akal, maka dalam pembahasan aqidah dikenal apa yang disebut dengan dalil aqli dan dalil naqli. Dalil aqli adalah bukti (burhan) yang digunakan oleh akal untuk mencapai pembenaran yang pasti (tasdiiq jazim) terhadap satu perkara di antara perkara-perkara aqidah Islam. Dalil naqli (disebut juga dalil sam’i) adalah berita (khabar) yang bersifat pasti (qath’i) dalam hal ini al-Qur’an dan al-Hadits yang memberitakan kepada kita mengenai satu rukun di antara rukun-rukun aqidah Islam.
Yang menentukan apakah dalil yang digunakan dalam satu perkara aqidah adalah dalil aqli atau dalil naqli, adalah perkara aqidah atau keimanan itu sendiri. Jika perkara keimanan berupa fakta terindera atau terdapat fakta indera yang menunjukkan adanya suatu perkara keimanan misalnya mengenai keberadaan (eksistensi) Allah SWT, al-Quran sebagai kalamullah, Muhammad sebagai Rasulullah, maka dapat dipastikan dalilnya adalah dalil aqli, bukan dalil naqli. Jika perkara keimanannya bukan merupakan fakta terindera, misalnya ‘asma wa sifat Allah, malaikat, hari kiamat dan sebagainya, maka dalilnya adalah dalil naqli. Sementara karena dalil naqli itu sendiri adalah suatu fakta terindera, maka penilaian terhadapt suatu dalil naqli – apakah dia layak atau tidak untuk menjadi dasar keimanan – tergantung pada dalil aqli. Dari segi inilah, dapat dikatakan bahwa aqidah Islam adalah sebuah aqidah aqliyah, yaitu aqidah yang pembenarannya dibangun atas dasar akal (mabdiyatun ‘ala al-aql).
Berdasarkan uraian tersebut, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa masalah keimanan dalam aqidah Islam yang dalilnya aqli ada 3 yaitu iman kepada Allah, iman bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, dan iman bahwa Muhammad adalah Rasul (utusan) Allah. Berdasarkan ketiga perkara keimanan inilah diperoleh keimanan kepada Al-Qur’an dan al-Hadits yang kemudian menjadi dalil naqli bagi perkara-perkara keimanan lainnya yang tidak dapat dijangkau akal seperti iman kepada kitab-kitab Allah, Rasul-rasulNya, malaikatNya, hari akhir, surga, neraka, hisab, dan sebagainya.
Namun demikian, perlu dipahami bahwa karena aqidah Islam termasuk masalah ushul (dasar) dalam Islam, maka dalilnya harus bersifat pasti (qath’i), baik qath’i tsubut (pasti sumbernya dari Rasulullah saw) maupun qath’i dhalalah (pasti pengertiannya). Karena itu, dalil naqli yang menjadi dasar aqidah haruslah berupa al-Qur’an dan hadits mutawatir yang mempunyai pengertian yang qath’i. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, haram bagi seorang muslim membenarkannya secara pasti (tasdiiq jazim). Tetapi tidak boleh dia mengingkarinya (takdzib), meskipun tetap dibolehkan baginya membenarkan secara dugaan kuat (tasdiiq zhanni). Oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil naqli untuk perkara aqidah.
Prinsip di atas didasarkan pada larangan dalam al-Qur’an untuk mengikuti sesuatu yang bersifat dugaan/persangkaan (zhan) dalam masalah aqidah atau sesuatu yang bukan merupakan pengetahuan yang pasti (al-‘ilm).
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya....” [QS. Al-Isra’: 36]
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [QS. Yunus: 36]

Aqidah Ruhiyyah dan Aqidah Siyasiyah
Yang dimaksud aqidah siyasiyah adalah aqidah yang menjadi dasar pengaturan urusan-urusan keduniaan. Sedang aqidah ruhiyah adalah aqidah yang menjadi dasar pengaturan urusan-urusan keakhiratan. Urusan keduniaan (syu’un al-dunya) adalah segala urusan manusia sepanjang kehidupan di dunia sampai mati, misalnya urusan keluarga, ekonomi, pendidikan, politik dan sebagainya. Sementara yang dimaksud dengan urusan akhirat (syu’un al-akhirah) adalah segala urusan manusia yang ada pada fase sebelum dan sesudah hidupnya di dunia. Yakni, apa yang ada sebelum lahirnya manusia dan sesudah matinya manusia, misalnya urusan penciptaan alam semesta dan kebangkitan pada hari kiamat. Termasuk juga urusan akhirat, adalah urusan yang sebenarnya ada pada fase kehidupan di dunia saat ini, tapi tidak berkaitan dengan interaksi sesama manusia, melainkan hanya berkaitan dengan hubungan antara manusia dan Tuhannya dalam ibadah ritual.
Jadi, aqidah ruhiyah adalah aqidah yang melahirkan beberapa pemikiran dan hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah akhirat, semisal hari kiamat, pahala siksa, dan juga masalah-masalah ibadah ritual (seperti doa), termasuk pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum lain yang berkaitan dengan pemeliharaan masalah-masalah tersebut, seperti pemberian nasihat dan petunjuk, atau penyampaian ancaman dengan adanya adzab Allah serta pemberian dorongan untuk mendapatkan sebesar-besarnya pahala Allah. Sedangkan aqidah siyasiah adalah aqidah yang melahirkan berbagai pemikiran dan hukum yang berkaitan dengan persoalan-persoalan keduniaan seperti aspek pemerintahan, perdagangan, sewa menyewa (ijarah), perkawinan, perseroan (syirkah), warisan, atau yang masih berkaitan dengan persoalan tersebut, seperti kewajiban mengangkat pemimpin jamaah atau kelompok, ketaatan pada pemimpin serta kewajiban mengontrolnya, juga sanksi-sanksi pidana dan hukum-hukum perang.
Dilihat dari pengertian di atas, maka aqidah Islam adalah aqidah ruhiyah dan sekaligus siyasiyah. Aqidah agama nasrani hanyalah aqidah ruhiyah, karena pemikiran dan hukum yang terakhir hanya berkaitan dengan persoalan keakhiratan. Sementara aqidah kapitalisme adalah aqidah siasiyah semata karena pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari aqidah ini, berkaitan dengan persoalan dunia saja, seperti kebebasan (liberalisme/fredoom) dan asas manfaat (utilitarianisme). Begitu juga dengan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan pemeliharaan persoalan keduniaan tersebut dan yang lahir dari aqidah kapitalisme tersebut berkitan dengan urusan dunia seperti demokrasi dan peperangan. Demikian juga dengan aqidah sosialisme, juga merupakan aqidah siyasiyah karena pemikiran-pemikiran serta produk hukum-hukum yang lahir dari aqidah tersebut hanya berkaitan dengan persoalan kehidupan dunia seperti pembatasan dan pelarangan kepemilikan. Demikian juga dengan pemikiran dan hukum-hukum yang berkaitan dengan pengaturan urusan kehidupan dunia seperti membatasi demokratisasi di kelas buruh dan diktaktor proletariat.
Dalam kedudukan sebagai aqidah ruhiyah aqidah Islam menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan urusan akhirat dan urusan ibadah. Mengenai urusan akhirat, firman Allah SWT:
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, Kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” [QS. Al- Baqarah: 28]

Mengenai urusan ibadah; seperti shalat, Allah SWT berfirman:
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.” [QS. Al-Isra’: 78-79]

Sebagai aqidah siyasiyah, aqidah Islam menjelaskan berbagai pemikiran dan hukum yang menyangkut bagaimana kita mengatur kehidupan dunia. Di bidang ekonomi, misalnya, Islam mengatur bolehnya jual beli dan larangan riba.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” [QS. Al-Baqarah: 275]

Dalam masalah sosial kemasayarakatan, misalnya aqidah Islam menjelaskan perlunya keluarga sebagai jalan untuk melahirkan generasi penerus demi kelangsungan jenis manusia.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak …” [QS. An-Nisa: 1]

Pemahaman tentang suatu aqidah sebagai aqidah ruhiyah dan atau aqidah siyasiyah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan manusia. Aqidah ruhiyah tidak bisa membentuk pandangan hidup (wijhatun nazhar) atau gambaran hidup (taswiru al-hayah), karena aqidah ruhiyah tidak memiliki pemikiran dan hukum yang menjadi standar untuk menilai mana perbuatan yang benar dan mana yang salah. Aqidah ruhiyah hanya berbicara tentang kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Dengan kata lain, aqidah ruhiyah tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dunia. Maka, terhadapa masyarakat yang memeluk suatu aqidah ruhiyah terntentu, misalnya Jepang yang memeluk aqidah Hindu atau Kong Hucu, bisa diterapkan aqidah siyasiyah apa saja (dalam hal ini kapitalisme) tanpa ada kekhawatiran akan menghilangkan agama-agama yang dipeluk masyarakat yang dipeluk di sana. 
Berbeda dengan aqidah ruhiyah, aqidah siyasiyah bisa membentuk pandangan hidup karena darinya terlahir pemikiran dan hukum-hukum tentang pengaturan kehidupan dunia. Maka, suatu masyarakat yang telah menganut aqidah siyasiyah tertentu, misalnya kapitalisme atau Islam, sangat sulit menerima kehadiran aqidah siyasiayh lain. Aqidah siyasiyah asing itu dinilai akan membahayakan eksistensi masyarakat itu. Langkah pemaksaan akan mengundang perlawanan dari masyarakat. Dari sini bisa dimengerti mengapa Indonesia, misalnya yang kendati mayoritas penduduknya muslim tapi terlanjur sudah memeluk aqidah siyasiyah kapitalisme sangat sulit menerima gagasan penerapan syariat Islam. Penerapan aqidah siyasiyah baru hanya mungkin dilakukan dengan tangan besi atau setelah masyarakat mengetahui kebobrokan aqidah siyasiyah yang dipeluknya selama ini dan keunggulan aqidah siyasiyah baru yang ditawarkan. Maka, mereka akan meninggalkan aqidah yang lama untuk mengambil aqidah yang baru.
Aqidah siyasiyah akan membentuk pandangan hidup. Dan pandangan hidup akan mempengaruhi perilaku manusia. Maka, perbedaan aqidah akan melahirkan perbedaan pandangan hidup, dan akhirnya melahirkan perbedaan perilaku. Pandangan hidup yang diajarkan aqidah kapitalisme adalah kemanfaatan (utilitaliarisme). Metode operasional untuk merealisasikan pandangan hidup ini adalah dengan menerapkan prinsip kebebasan, yaitu kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan individu, dan kebebasan berpendapat.
Pandangan hidup yang diajarkan aqidah sosialisme adalah evolusi materi yaitu perubahan dari suatu kondisi ke dalam kondisi lain yang lahir karena adanya kontradiksi-kontradiksi di tengah masyarakat. Aqidah operasional untuk merealisasikan pandangan ini adalah dengan membuat kontradiksi-kontradiksi di tengah-tengah masyarakat. Aqidah sosialisme menggambarkan kehidupan yang terus bergerak yaitu berubah menuju suatu kondisi lain yang lebih baik. Untuk perubahan menuju suatu kondisi yang lebih baik tersebut, atau disebut juga dengan evolusi, maka harus ada upaya menggalakkan kontradiksi. Jika sudah ada, harus ditingkatkan. Jika belum, harus diadakan.
Adapun pandangan hidup yang diajarkan aqidah Islam bahwa hidup adalah untuk beribah kepada Allah. Intinya terikat pada ketentuan halal dan haram. Dan metode operasional untuk merealisasikan pandangan halal-haram tersebut dengan membangun keterikatan terhadap hukum syara’. Apa saja yang halal, diambil tanpa ragu-ragu. Sesuatu yang makruh akan diambil dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Sedangkan yang haram, tidak akan diambil sama sekali.
Melalui perang kebudayaan (al-ghazwu al-tsaqafy), Barat ingin mengubah pandangan hidup kaum muslimin. Di antaranya adalah dengan menciptakan keragu-raguan dalam beberapa masalah aqidah Islam, seperti keotentikan al-Qur’an. Senjata Barat yang lain adalah menghilangkan kepercayan kaum muslimin terhadap syari’at Islam. Diantaranya, Barat menyerang hukum tentang poligami. Termasuk gagasan adanya perubahan hukum dengan perubahan waktu dan tempat. Tujuannya adalah bagaimana agar kaum muslimin tidak lagi berpegang pada pandangan hidup Islam dan tidak menjadikan syari’ah Islam sebagai tolok ukur perbuatan. Hasilnya, kini banyak diantara kaum muslimin yang tidak lagi memperhatikan syariah. Bahkan yang tragis, tidak sedikit diantaranya justru menjadi penentang-penentang gagasan penerapan syariah islam. Disadari ataupun tidak, mereka ini telah menjadi bagian dari masyarakat sekuler yang menjauhkan agama (Islam) dari kancah kehidupan nyata di dunia.
Padahal jika Islam sudah dipahami sebagai aqidah ruhiyah sekaligus aqidah siyasiyah, maka insya Allah umat Islam akan mampu bangkit untuk kembali memimpin dunia sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh manusia. Seperti firman Allah :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” [QS. Ali Imran: 110]

Sumber: Mafahim BKLDK
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar